Keliru anggapan sekalangan orang selama ini bahwa jadi tersangka kasus korupsi merupakan musibah. "Intinya, ini semua merupakan musibah atas berbagai musibah terdahulu yang ada di PD," ujar Ibas menanggapi penetapan tersangka Ketum PD Anas Urbaningrum (AU), sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Jumat (22/2/2013). Ini contoh saja.
Dengan kerangka berpikir demikian maka ada anggapan tidak layak orang bersorak atau tepuk tangan ketika seseorang ditimpah musibah jadi tersangka kasus korupsi. Masih ingat ketika para jurnalis bertepuk tangan menyusul pengumuman tersangka AU oleh Jubir KPK Johan Budi, Jumat (22/2/2013) malam? Ada suara kecaman terhadap tepuk tangan demikian. Dinilai tidak sepatutnya bergembira atas musibah orang lain.
Demikian juga penulis kutip dari pernyataan tokoh agama. Sebut saja Mustofa Bisri. Dalam akun Twitternya mertua Ulil Abshar Abdalla ini menyatakan, "Aku sangat anti korupsi dan berpendapat koruptor harus dihukum se-berat2nya; tapi aku tidak merasa gembira jika ada yg tersangka korupsi," kicau KH Mustofa Bisri, Jumat (22/2/2013). Paradigma pernyataan ini masih menganggap tersangka korupsi sebagai musibah sehingga tak layak bergembira atas penetapan tersangka seseorang.
Anggapan demikian keliru besar! Korupsi merupakan musuh bangsa karenanya wajar sekali warga bergembira tiap ada yang ditetapkan tersangka. Masa musuh dikalahkan malah bersedih. Tidak logis. Ini sekalipun tersangka belum tentu bersalah secara hukum kelak di pengadilan, sesuai asas praduga tak bersalah.
Secara substansi dan bahasa, musibah merupakan peristiwa menyedihkan yang terjadi diluar kendali pihak yang ditimpah musibah. Makanya Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan Kedua, 2002, halaman 766, mengartikan 'musibah' sebagai, "1. kejadian (peristiwa) menyedihkan yg menimpa: dia mendapat -- yg beruntun, setelah ibunya meninggal, dia sendiri sakit sehingga harus dirawat di rumah sakit; 2. malapetaka; bencana; -- banjir itu datang dng tiba-tiba."
Berbeda dengan tindak pidana korupsi. Setiap orang memiliki kendali sepenuhnya untuk menghindari terlibat dalam suatu tindak pidana apapun, tidak terkecuali tindak pidana korupsi. Penegak hukum tidak akan berani menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa bukti sama sekali. Hal ini karena penegak hukum juga memiliki tanggung gugat, bisa digugat, jika sembarangan menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa bukti sama sekali.
Hanya saja pembuktian oleh penyidik demikian masih harus diuji secara terbuka dan berimbang di pengadilan. Hakimlah yang akan memutuskan apakah pembuktian pihak penyidik dan penuntut umum dapat dibenarkan secara hukum dan terdakwa dapat dipersalahkan atas peristiwa pidana yang didakwakan.
Jika AU tertimpa sakit keras lalu tak bisa melanjutkan kepemimpinan Partai Demokrat, nah, baru wajar Ibas menyatakan AU dan PD sedang tertimpa musibah. Uraian ini tentu saja bukan harapan penulis atau siapapun yang berpikir waras agar AU ditimpa musibah yang menyedihkan demikian. Sama sekali tidak.
(SP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H