Ada baiknya jenjang karir guru SD s/d SMA sampai profesor. Setidaknya tiap SMA khususnya di kota ada guru begelar doktor untuk tiap mata pelajaran ilmu pasti. Kepala sekolah Harry Potter saja seorang profesor (Prof Dumbledore).
Memang, gelar akademik bukan jaminan seorang guru mampu mentransfer ilmunya dengan tepat dan dapat diterima dengan baik oleh murid-muridnya. Akan tetapi teknik komunikasi demikian bisa dilatih dan itu tidak terlalu sulit. Yang jelas kecakapan akademik sudah di tangan.
Kecakapan akademik adalah hal utama bagi seorang guru dan dosen. Namanya guru harus pintar, teori dan praktik. Jika guru tidak pintar namanya bukan guru. Problem ini bertumpuk-tumpuk dengan kelemahan kurikulum pendidikan formal kita.
Mengapa ini penting? Karena sistem pendidikan kita dari SD s/d SMA cenderung tidak terbangun sinergisitas yang komprehensif dalam hal mata pelajaran antar jenjang pendidikan. Sehingga sulit menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa menjadi orang kreatif sebagai kecakapan dasar untuk menjadi pencipta/penemu.
Pelajaran di sekolah lebih fokus pada penguasaan mata pelajaran tertentu dengan berpedoman pada kurikulum yang ada. Namun bagaimana integrasi antar mata pelajaran hubungannya dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, tidak tergambar integrasinya.
Gagasan utama tulisan ini adalah, pendidikan dasar lebih ditekankan pada penanaman prinsip-prinsip dasar atau asas-asas dalam ilmu (matematika, bahasa inggris, dan ilmu alam). Cukup sampai di sini saja fokus pendidikan selama enam tahun di sekolah dasar.
Pada sekolah menengah pertama, fokus pelajaran lebih ke penerapan sederhana ilmu dasar yang diperoleh di sekolah dasar ke level praktik nyata di lapangan, yakni penelitian sederhana. Misalnya, soal ovulasi dalam biologi dipelajari teori dasar dan penerapannya dalam penelitian sederhana, langsung di lapangan. Begitupun komunikasi lisan dan tulisan dalam bahasa inggris dimulai dalam wujud nyata di lapangan, misalnya kewajiban berbahasa inggris dalam tiga hari penuh di sekolah tiap minggunya.
Di level sekolah menengah pertama, matematika tidak sekedar berhenti di utak-atik rumus hitung abstrak. Melainkan mulai digunakan untuk tujuan kongkrit di lapangan, misalnya, menghitung laba rugi sebuah usaha bisnis, menggunakan rumus untuk memecahkan problem sederhana perhitungan pembuatan rumah/gedung, dsb.
Pada level sekolah menengah pertama murid sudah terlatih menerapkan prinsip dasar sebuah ilmu yang cenderung abstrak ke aspek kongkrit penerapannya di lapangan, dalam kehidupan sehari-hari, dalam penelitian sederhana di lapangan (tidak sekedar di laboratorium).
Setelah menginjak level sekolah menengah atas, murid tidak lagi hanya menerapkan prinsip-prinsip dasar sebuah ilmu ke praktik di lapangan, namun sudah pada tahap lebih lanjut. Yakni, mulai berkreasi mencipta. Misalnya, dengan kemampuan ilmu matematika dan ilmu lain, diterapkan untuk mencipta sebuah robot. Atau, membuat rancangan program komputer untuk jurnal dan neraca sebuah toko swalayan.
Pekerjaan-pekerjaan rumah, baik harian maupun saat liburan, sifatnya adalah mencipta. Namun tidak sekedar mencipta seperti membuat kerajinan tangan, melainkan sebuah penciptaan hasil dari penerapan ilmu yang diajarkan di sekolah. Penciptaan itu tidak sekedar dalam bentuk fisik, namun juga diwujudkan dalam karya tulis sebagai semacam panduan dari karya fisik ciptaan tersebut.