Lihat ke Halaman Asli

Sutomo Paguci

TERVERIFIKASI

Advokat

Meributkan (Lagi) Fiksi Tante Paku

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pengantar

Artikel ini adalah suplemen dari artikel saya yang bertajuk "Kasus Tante Paku: Nulis di Media Sosial Ibarat Beranak", yang menuai pro dan kontra yang luar biasa, sebagaimana tercermin dari banyaknya komentar atas artikel tersebut.

Secara normatif, sebenarnya, permasalahan artikel Tante paku berjudul "[Fun Fict] Turunnya Kitab Suci Versi Superman", sudah selesai dengan dibredelnya tulisan itu oleh Admin Kompasiana dan diikuti permintaan maaf tertulis oleh Tante Paku atas polemik yang ditimbulkan karya fiksinya.

Namun, secara kebatinan teman-teman dan umat, sebagaimana saya tangkap, polemik "kasus" fiksi Tante Paku tersebut, belum selesai. Hal ini tercermin dari komentar-komentar teman-teman dan status Tante Paku di Facebook.

Karena itu, ada baiknya saya kembali mengangkatnya. Bukan ditujukan untuk memperkeruh suasana. Melainkan untuk "membongkar" kebatinan yang tersembunyi dan laten dari umat.

Hanya dengan cara ini saya nilai akan terbangun diskursus yang mencerahkan, dan moga-moga saling introspeksi baik nyata maupun diam-diam bagi semuanya, artinya, termasuk penulis. Jadi, bukan dengan "memelihara api dalam sekam."

Jaga kavling

Baiklah. Sebagian teman-teman "ngeri" dengan statemen saya dalam kolom komentar artikel pada paragraf pertama di atas. Saya katakan, jika ada yang menginjak kitab suci di depan saya, saya tak akan marah dan membunuh penginjak kitab suci itu. Saya hanya akan bertanya dan mengatakan bahwa hal itu tidak boleh atau saya melapor ke penegak hukum.

Berbeda halnya, mengutip Sdr Alek Laksana, jika orang menginjak kitab suci yang saya beli sendiri dengan uang sendiri. Saya akan marah dan meminta ganti rugi, selain melakukan langkah-langkah lain yang dipandang perlu.

Begitu pun andai saya---versi saat ini, tentu saja---masuk ke lobang waktu menuju era Perang Salib. Sedapat mungkin saya akan menghindari ikut perang atas nama agama, apapun alasannya. Saya tak akan pernah mau membunuh orang atas nama agama. Juga, sedapat mungkin saya hindari marah-marah karena membela agama.

Sama juga dengan ketika ada yang menghina-hina merek mobil yang saya pakai sebagai jelek tak bermutu dan mengata-ngatai dengan bahasa menjijikan terhadap produsen mobil. Saya tak akan marah atau memukul penghina itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline