[caption id="attachment_290029" align="aligncenter" width="600" caption="scmp.com - Erwiana Sulistyaningsih, sebelum dan sesudah disiksa majikan"][/caption] Kisah tragis buruh migran Indonesia di Hongkong bernama Erwiana Sulistyaningsih (23 tahun) merupakan potret buruknya perlindungan TKI di luar negeri sebagaimana diamanatkan UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dan perundangan terkait lainnya. Setiap TKI harusnya tahu persis bagaimana cara melindungi diri, baik sebelum (antisipasi) kejadian, saat kejadian, dan sesudah kejadian yang mengancam fisik dan hak asasinya. Namun yang terjadi selalu saja berulang TKI diperlakukan kasar oleh majikan di luar negeri. Dan tanpa penanganan yang meyakinkan dari pemerintah dan agen pasca peristiwa. Kasus Erwiana, TKI asal Ngawi, Jawa Timur, bisa jadi lecutan berharga bagi pemerintah, khususnya BNP2TKI, agen penyalur, dan perwakilan Indonesia di luar negeri. Harusnya, kejadian begini tak terjadi, dan kalaupun terjadi ada penanganan segera yang meyakinkan. Hal mana tak terjadi pada kasus Erwina. Erwiana hanya sempat bekerja 8 bulan pada majikannya, Law Wan Tung, ketika ia pulang ke tanah air kerena tak kuat disiksa majikannya dengan bengis dan dipaksa bekerja 21 jam per hari (hanya istirahat 3 jam/hari). Sayang seribu sayang, Erwiana buru-buru pulang ke tanah air. Ia diketahui belum mengamankan barang bukti kejadian, belum melapor ke polisi, dan divisum. Jangan-jangan ia tak tahu betapa urgen hal ini dilakukan dengan sesegera mungkin. Yang melaporkan majikan Erwiana adalah Agen. Inipun tanpa disertai bukti pendukung, sehingga membuka celah bagi kepolisian Hongkong untuk ngeles, menghindar. Benar saja, kepolisian Hongkong menolak laporan Agen tanggal 12 Januari 2014 lalu. Harusnya, setiap calon TKI telah diberi advokasi bagaimana cara melindungi diri. Jika dianiaya majikan segera melapor ke polisi terdekat dan minta divisum. Selesai diperiksa barulah boleh memutuskan apakah pulang ke tanah air atau tidak. Kedubes atau Konsulat wajib proaktif soal ini, sediakan bantuan hukum jika diperlukan. Kalaupun hal demikian belum sempat dilakukan karena kendala teknis, maka segera melakukannya pada kesempatan pertama setiba di tanah air. Selanjutnya, biarlah aparat penegak hukum di Indonesia yang proaktif lakukan komunikasi, koordinasi, dan pertukaran barang bukti ke penegak hukum di negara tempat kejadian dengan melalui saluran diplomatik yang ada. Harus diingat, penganiayaan wajib segera ditangani pembuktiannya sedini mungkin, terutama visum. Kalau terlalu lama baru divisum dikhawatirkan bekas-bekas penganiayaan akan terdistorsi dan tidak asli lagi. Ini menyulitkan penegak hukum dalam memprosesnya. Tugas advokasi demikian harusnya menjadi kavling BNP2TKI, Kedubes, Konsulat dan Agen. Hal ini sudah diatur dalam UU No 39 Tahun 2004, Perpres No 81 Tahun 2006 tentang BNP2TKI, Keppres No 108 Tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan RI di Luar Negeri, dan perundangan terkait lainnya. Pun, wakil rakyat di Komisi IX DPR RI, yang mengurusi tenaga kerja dan Komisi I DPR RI, yang mengurusi politik luar negeri, juga tak terdengar "suara" yang meyakinkan terkait problem perlindungan TKI di luar negeri. Apa kiprah para wakil rakyat dalam pengawasan terhadap mitra kerjanya (Depnaker, Deplu, dan BNP2TKI). Padahal, banyak sekali uang rakyat digunakan untuk membiayai lembaga-lembaga ini. (Sutomo Paguci)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H