[caption id="attachment_250892" align="aligncenter" width="318" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Dari dalam kuburnya, entah di mana, barangkali Tan Malaka bersedih dengan realitas anak bangsa Indonesia saat ini. Dunia bergerak ke arah ultramodern, namun kaum terdidik dan pemangku kekuasaan di Indonesia masih terkungkung pada hal-hal gaib berbau tahayul. Betapa tidak, pemerintah mengusulkan pasal santet di dalam rancangan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), yang telah diajukan ke DPR RI untuk dibahas lebih lanjut. Rancangan KUHP tersebut sangat bertentangan dengan cara pikir MADILOG-materialisme, dialektika, dan logika-yang berporos pada rasionalitas dan telah diajarkan Tan Malaka lebih 70 tahun lalu. Kata Tan Malaka, dalam pengantar buku berjudul sama, MADILOG, cara pikir MADILOG merupakan pondasi penting sebagai penopang menuju Indonesia merdeka. Dimana bangsa dinilai sulit merdeka jika cara pikirnya masih dirasuki hal-hal tahayul. Pasal 293 Ayat (1) rancangan KUHP berbunyi, "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun." 'Kekuatan gaib' yang dimaksud dalam pasal di atas dalam masyarakat dikenal dengan istilah santet atau nama-nama lainnya. Memang, bukan santetnya yang dituju oleh pasal dengan teknik perumusan formil demikian, melainkan penyebaran atau semacam pengiklanan diri. Namun, tetap saja memasukan hal-hal gaib dalam pasal hukum tidak lazim dalam khazanah akademik ilmu hukum. Dengan perumusan delik formil demikian, berarti titik tekan pemidanaan pada perbuatan pernyataan dst, bukan pada akibat (penyakit, kematian, dst). Di sini delik telah dianggap selesai sempurna jika perbuatan yang dirumuskan peraturan pidana telah dilakukan tanpa melihat akibat. Karena itu, unsur-unsur pasal 293 Ayat (1) rancangan KUHP terdiri dari: (i) setiap orang, (ii) menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, dst atau memberikan bantuan dst. Tidak jadi soal apakah "iklan" seseorang tersebut berhasil mendatangkan klien dan benar mengakibatkan penyakit, kematian, dst pada sosok target. Pokoknya, asal menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, yang dapat menimbulkan penyakit dst, pada publik, maka seseorang tsb dapat dipidana. Konsekuensi jangka panjang dari pasal tersebut akan sangat serius, tak terkecuali bagi dunia akademik di perguruan tinggi hukum. Kelak, mau tak mau pelajaran ilmu hukum akan membahas unsur-unsur ilmu gaib, bahkan mungkin ada matakuliah ilmu gaib agak 2 SKS. Belum lagi kurikulum pendidikan bagi para reserse dan penyidik kepolisian perlu ditambah dengan materi ilmu-ilmu gaib. Selain itu, akan diperlukan ahli atau pakar di bidang ilmu gaib, guna menjelaskan duduk soal jika ada kasus kongkrit di pengadilan. Nampaknya, perumus rancangan KUHP tersebut menyadari komplikasi yang mungkin muncul dari kriminalisasi santet. Karenanya, santet itu sendiri tidak dikriminalisasi. Yang dikrimininalisasi adalah penyebaran pernyataan bahwa seseorang memiliki kekuatan gaib yang dapat mengakibatkan penyakit dst. Di di titik inilah kerawanan soal santet dinilai bermula. Namun, sekalipun bukan santet-nya yang dikriminalisasi, akan tetapi adanya kata 'kekuatan gaib' dalam pasal bersangkutan potensial rmenimbulkan masalah dalam penegakan hukumnya nanti. Sebagai catatan kaki, kriminalisasi yang dimaksud di sini adalah, upaya menjadikan suatu perbuatannya yang sebelumnya bukan merupakan tindak pidana menjadi sebuah perbuatan yang dapat dipidana, oleh pembentuk perundangan. Dalam kaitan ini, santet dan serba-serbinya dulunya bukan tindak pidana kemudian (akan) dijadikan tindak pidana melalui suatu proses pembentukan hukum tertentu. Bagi penulis sendiri, masalah utama dari pasal santet bukan di soal pembuktiannya, karena pembuktian delik formil demikian tidaklah sulit, yakni cukup dengan setidaknya dua saksi yang mengetahui pernyataan seseorang memiliki kekuatan gaib dst ditambah dengan pengakuan dari ybs sendiri atau berbentuk bukti pemberitahuan tertulis beserta barang bukti, maka sudah cukup alat bukti untuk menjerat pelakunya. Masalah utama dari pasal santet tersebut adalah, memasukan anasir-anasir ir-rasional (kekuatan gaib) dalam suatu pasal pidana. Idealnya, pasal hukum hanya memuat suatu rumusan peristiwa hukum yang rasional, yang bisa diverfikasi kebenarannya melalui serangkaian pembuktian, dan bisa diuji dengan kaidah-kaidah ilmiah. Bisa dipahami maksud perumus naskah rancangan KUHP tersebut barangkali menjadikan pasal santet sebagai sarana pengendali ketertiban sosial, berhubung per realitas praktik santet memang dikenal di masyarakat dan umum melahirkan keresahan sosial berupa penghakiman oleh masyarakat terhadap terduga pelaku. Akan tetapi, pola perumusan hukumnya tidak harus dengan memasukkan anasir ir-rasional. Intinya, soal gaib diselesaikan melalui cara gaib; soal moral selesaikan melalui cara-cara moral; soal etika selesaikan melalui cara-cara etika; peristiwa hukum selesaikan dengan pasal hukum; dst. Harus ada pemisahan ranah dengan jelas. Ketika seseorang meninggal dunia dan diketahui ada paku atau benda-benda tajam lainnya di dalam perut si mayat, dimana setelah diperiksa oleh dokter, ternyata tidak ada unsur kesengajaan atau kelalaian memasukkan paku tersebut, maka peristiwa demikian bukanlah peristiwa pidana. Menjadi peristiwa pidana jika dapat dibuktikan, secara fisik-material, ada pihak lain yang memasukkan paku tersebut ke tubuh korban. Nah, selama tak bisa dibuktikan demikian maka peristiwanya bukanlah tindak pidana melainkan kematian "biasa". Harus diingat, tidak setiap hal mampu diselesaikan oleh hukum. Ada batas-batas dimana hukum harus mengakui keterbatasan dirinya. Sebut saja soal keimanan, ide, konsep-konsep abstrak, hantu, setan, jin, dedemit, tuyul, dst-hukum tak bisa masuk ke ranah itu. Biarlah ia menjadi ranah gaib dan/atau agama. Jangan berpretensi bahwa setiap masalah sosial ujug-ujung dilempar ke mekanisme hukum untuk menyelesaikannya dan dianggap pasti beres. Tidak. Kalau masyarakat tiba-tiba murtad massal atau pindah agama atau tiba-tiba jadi ateis maka hukum tak bisa dan tak boleh menjangkaunya. Karena wilayah batin-keimanan dan pikiran tak bisa dijangkau hukum. Hukum hanya menjangkau aspek kongkrit. Begitupun soal santet. Hukum tak bisa menjangkau wilayah gaib demikian. Biarlah ia tetap berada di ranahnya, yakni wilayah gaib. Ada cara-cara gaib untuk menyelesaikannya, dan masyarakat biasanya sudah tahu itu. Justru, yang perlu dibentuk adalah, menjadikan hukum sebagai perekayasa sosial (social engineering), supaya masyarakat tidak main hakim sendiri. Misalnya, jika masyarakat suka main keroyokan, pada siapapun, termasuk dukun santet, maka hukuman pada pelakunya diperberat sepertiga berhubung dilakukan secara keroyokan. (SP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H