Lihat ke Halaman Asli

Sutomo Paguci

TERVERIFIKASI

Advokat

Otto Hasibuan: Perubahan UU Advokat Belum Diperlukan

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1381037732262137695

[caption id="attachment_270564" align="aligncenter" width="600" caption="Dr Otto Hasibuan SH MM berpidato dalam acara Pelantikan Pengurus DPC IKADIN Padang Periode 2013-2017 di Hotel Pangeran Beach, Padang, 5/10/2013"][/caption] Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan sekaligus Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Dr Otto Hasibuan, S.H.,M.M. menyatakan bahwa perubahan UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat belum diperlukan. Hal ini disampaikannya dalam pidato Pelantikan Pengurus DPC IKADIN Kota Padang Periode 2013-2017, di Hotel Pangeran Beach, Padang, Sabtu (5/10/2013). "Jika ditanyakan pada saya apakah perubahan UU Advokat diperlukan atau tidak maka saya akan jawab belum diperlukan," tegas Otto sebagai tanggapan atas inisiatif sebagian anggota DPR RI (Komisi III) untuk mengubah UU Advokat. Otto menekankan pentingnya IKADIN mengawal keberadaan PERADI sebagai satu-satunya wadah tunggal profesi Advokat di Indonesia. "Sedapat mungkin UU Advokat tidak diubah, namun kalau pun tetap juga diubah maka kita mesti perjuangkan PERADI sebagai wadah tunggal Advokat dalam perubahan UU Advokat yang baru," katanya. Dalam kesempatan yang sama Otto menyatakan bahwa eksistensi PERADI saat ini berjalan dengan sangat baik. Terbukti, PERADI sebagai organisasi yang menjalankan fungsi organ negara (state organ) mampu mengoptimalkan fungsinya dengan baik, mulai dari pendidikan bagi calon advokat, ujian profesi, pelantikan, dll. Karena itu, Otto menambahkan, PERADI cukup disegani dalam percaturan internasional sebagai anggota dari International Bar Association (IBA). Atas dasar situasi dan kondisi demikian tidak ada urgensi untuk merubah UU Advokat. Perubahan UU hanya diperlukan untuk tujuan memperkuat independensi advokat maupun organisasi advokat (PERADI). Bukan sebaliknya untuk melemahkan advokat. Otto kemudian menunjukkan ketentuan dalam naskah RUU Advokat, yang telah dibagikan pada peserta dalam acara ini, khususnya tentang ketentuan Induk Organisasi Advokat dan Majelis Kehormatan Advokat. Sistem federasi yang dianut RUU Advokat menyisahkan pertanyaan soal penegakan kode etik advokat, pendidikan advokat, dan ujian profesi advokat. Idealnya, pelaksanaan dari fungsi kenegaraan organisasi profesi advokat demikian dijalankan oleh wadah tunggal organisasi advokat. "Itulah beda antara organisasi profesi dengan Ormas," ujar Otto. "Organisasi profesi seperti PERADI dapat mengangkat dan memberhentikan penegak hukum (advokat), hal yang tidak bisa dilakukan oleh Ormas, yayasan, LSM, dsb," lanjut Otto. Kebebasan berserikat tidak relevan bagi organisasi profesi seperti advokat yang menjalankan fungsi negara---pendidikan calon advokat, pelantikan, pengangkatan dan pemberhentian advokat. Itu bedanya dengan Ormas. Karena itu, tidak boleh ada tumpang tindih dua organisasi profesi atau lebih yang menjalankan fungsi negara yang sama. Akan sangat merugikan bagi masyarakat pencari keadilan apabila setiap organisasi advokat yang cukup banyak di Indonesia saat ini boleh mendidik sendiri-sendiri, melantik sendiri, dan memberhentikan sendiri setiap anggotanya. Jika seorang advokat diberhentikan karena melanggar kode etik, misalnya, maka advokat ybs bisa saja loncat ke organisasi lain. Di sinilah pentingnya wadah tunggal yang mengatur penegakan kode etik profesi. "Jika seorang advokat yang menipu kliennya, lantas dipecat sebagai advokat, akan tetapi masih dapat berpraktik sebagai advokat di organisasi lain, maka yang dirugikan adalah kliennya sendiri (masyarakat)," tukuk Otto. Otto juga mengkritik wacana Dewan Kehormatan Advokat dalam RUU Advokat saat ini yang beranggotakan unsur masyarakat dan digaji oleh negara. Hal ini tentu saja akan mengganggu independensi advokat. Padahal, dalam sejarahnya, kelahiran PERADI sebagai wadah tunggal untuk memutus kooptasi negara terhadap independensi advokat. Dalam banyak kesempatan, termasuk dalam acara kali ini, Otto kembali menyoroti pentingnya hak imunitas advokat dalam menjalankan profesinya. Hak imunitas advokat berangkat dari pemikiran advokat sebagai penegak hukum. Hak imunitas inilah hak advokat supaya penegakan hukum dapat dilakukan. Sebagaimana halnya hak imunitas serupa pada anggota DPR RI. Sulit dibayangkan seorang advokat dapat menegakkan hukum apabila tidak mempunyai hak imunitas. Seorang advokat dapat dengan mudah dipecat ketika berhadapan dengan kekuasaan. Penegak hukum lain---polisi, jaksa, dan hakim---memiliki kewenangan untuk menyita, menangkap, dan menahan tersangka/terdakwa. Kewenangan yang sama tidak dimiliki oleh seorang advokat. Karena itu, supaya dapat membela kliennya dengan bebas, maka advokat memiliki hak imunitas di pengadilan. Hanya hak imunitas inilah penanda utama bahwa advokat benar sebagai penegak hukum. (SP)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline