Lihat ke Halaman Asli

Sutomo Paguci

TERVERIFIKASI

Advokat

Kolaborasi Liberal-Sekuler: Santri dan Sarjana-Abangan

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya tergelak menyadari kekompakan antara sarjana abarang yang berpaham liberal-sekuler dengan santri yang berpaham sama, sama-sama liberal-sekuler. Kedua kelompok ini seolah kompak bagi-bagi kavling bahasan dalam tulisan-tulisannya.

Sarjana abangan liberal-sekuler membahas rasionalitas pentingnya pemisahan urusan negara dan agama dengan penekanan di sudut negara dan konstitusi (di luar teks agama). Saya termasuk di dalam kelompok ini.

Sementara itu, santri liberal-sekuler memfokuskan bahasan urgensi pemisahan urusan agama dan negara dengan titik tekan di sudut agama itu sendiri (pada teks agama itu sendiri). Pada kelompok ini sebut saja nama-nama seperti Abdurrahman Wahid, Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi, Guntur Romli, Luthfi Assyaukanie, Sudarto (cendekiawan muda muslim dari Padang), dll.

Dari kolaborasi pembahasan demikian terlihat dengan terang, bahwa baik dari "sisi dalam" (teks agama) maupun dari "sisi luar" (organisasi negara dan konstitusi), pemisahan antara urusan negara dan agama memiliki pijakan teoritis, yuridis dan faktual.

Dari sini terlihat pula, bahwa paham liberal-sekuler jauh lebih cerdas dibandingkan paham penyatuan agama dan negara ala Pan Islamisme, misalnya.

Coba saja lihat faktanya. Liberal-sekuler mencoba merangkum semua warga tanpa diskriminasi berlandaskan suku, ras, agama dan antar golongan (SARA). Politik menurut paham ini merupakan aktivitas bernegara tanpa membedakan perlakuan berdasarkan SARA.

Sedangkan paham penyatuan negara dan agama menghendaki perlakuan berbeda berdasarkan SARA, dengan kaum agama tertentu sebagai bos atau anak emas dalam kewargaan yang dikembangkannya. Pandangan Pan Islamisme, misalnya, menghendaki islam sebagai aturan bersama dalam wadah negara agama (negara islam) dan memposisikan anti-demokrasi.

Sementara itu, fakta lapangan menunjukkan negara adalah organisasi bersama dengan warga berbeda-beda unsur SARA-nya. Realitas ini per ideal mustahil diseragamkan normanya berlandaskan aturan formalistik agama mayoritas.

(SP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline