Lihat ke Halaman Asli

Sutomo Paguci

TERVERIFIKASI

Advokat

Buang Islamis, Kembali ke Sumpah Pemuda

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1382941318933233678

[caption id="attachment_274612" align="aligncenter" width="500" caption="Poster Gema Pembebasan"][/caption] Momen peringatan Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober, ternyata, dimanfaatkan oleh kalangan Islamis untuk menyebarkan ideologi makar kontra nasionalisme, NKRI, dan Sumpah Pemuda. Jualan antinasionalisme dilakukan dengan poster-poster seperti gambar di atas. Gerakan Mahasiswa Pembebasan (Gema Pembebasan) menyebarkan poster dan melakukan demonstrasi menolak Sumpah Pemuda. Organisasi ini disebut-sebut sekalangan orang sebagai organisasi mahasiswa underbow Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam profil singkat di websitenya (gemapembebasan.or.id) memang tidak disebutkan secara tegas afiliasi organisasi gerakan ini. Visi organisasi yang berdiri tanggal 28 Februari 2004 di Auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia adalah: menjadikan Ideologi Islam sebagai mainstream gerakan dan terbentuknya opini Islam Ideologis di kalangan mahasiswa. Fokus gerakan antinasionalisme dan antipluralisme merupakan khas perjuangan kalangan Islamis atau Islam Politik seperti HTI, Ikhwanul Muslimin, JI, MMI, dll. Mereka memang tidak suka dengan nasionalisme dan pluralisme. Karena yang diperjuangkannya adalah paham Internasionalisme (khilafah) dan kesatuan penafsiran terhadap agama hubungannya dengan negara. Gerakan antinasionalisme dan antipluralisme bukan saja berbau makar tapi juga ngawur, baik dalam tataran historis maupun praktis kekinian. Antinasionalisme berarti pengingkaran terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Faktanya, tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tidak menerapkan visi nasionalisme bagi pembentukan negaranya. Menarik untuk mengutip kultwit Akhmad Sahal barusan saja. Ternyata, dalam sejarah pra-Islam telah ada semacam "Sumpah Pemuda", yang dinamai "Hilful Fudul", yakni ikrar antar kepala suku di Mekah yang kebetulan disaksikan oleh Muhammad saat ia berumur 20 tahun. Ada tiga Fadl yang ikut serta: Fadl Ibn Fudolah, Ibn Wad'ah, dan Ibn al-Harits. Ikrarnya: siapapun yang melanggar hukum, tak peduli asal-usulnya, harus dihukum secara tegas dan adil. Dengan demikian semua harus bersatu dan tidak boleh ada kezaliman supaya perniagaan dapat berjalan dengan lancar. Setelah Muhammad diangkat sebagai Nabi ikrar "Hilful Fudul" tetap dikenang dan diakuinya. Dalam kitab Sirah Ibn Hisyam disebutkan bahwa Nabi berkata: "Aku turut sebagai saksi dalam ikrar di rumah Abdullah bin Jud'am, betapa senang hatiku menyaksikan hal itu. Seandainya setelah Islam datang, aku diajak mengadakan ikrar seperti itu, pasti kusambut dengan baik." Dengan demikian persatuan antar perbedaan dan ikrar sumpah pemuda sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Justru Nabi sangat apresiatif dengan ikrar demikian. Sebab, tegaknya keadilan dan persatuan merupakan keutamaan dalam masyarakat Islam yang dibangun Nabi pada waktu itu. Saat ini, masifnya gerakan Islamis merupakan fakta yang tak terbantahkan di Indonesia. Gerakan ini merebak dengan cepat hampir di semua lini: sekolah negeri, pesantren, universitas, majelis taklim, lembaga-lembaga negara, dll. Tidak heran jika HTI mampu memanfaatkan Stadion Utama Glora Bung Karno (SUGBK) dan TVRI untuk mengkampanyekan Konferensi Khilafah Internasional, yang nota bene gerakan barbau makar. Diperkirakan 5-10 tahun lagi gerakan Islamis akan makin marak di Indonesia. Pada saat itu sekolah-sekolah, pesantren, universitas-universitas yang telah disusupi oleh HTI dan dibiayai oleh gerakan Wahabisme Internasional dari Saudi Arabia akan menyebar alumninya di tengah masyarakat. Sayang sekali publik terkesan menganggap remeh gerakan Islamisme ini. Pemerintah pun setali tiga uang. Buktinya, pemerintah membiarkan institusi dan infrastrukturnya digunakan oleh gerakan yang berbau makar seperti HTI dan Gema Pembebasan. Nanti, pada saat gerakan ini makin membesar dan memicu perpecahan bangsa, barulah kelimpungan. (Sutomo Paguci)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline