Lihat ke Halaman Asli

Sutomo Paguci

TERVERIFIKASI

Advokat

Film CTB, Minangkabau, dan Wahabisme

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Penolakan keras sebagian orang Minang terhadap film Cinta Tapi Beda karya Hanung Bramantyo tidaklah berdiri sendiri di ruang hampa. Ini diduga kuat ada kaitannya dengan faham keagamaan yang mendominasi orang Minang pasca Perang Padri (1803-1838), perang antara kaum Padri melawan kaum Adat yang dimenangkan oleh kaum Padri, yakni faham Wahabisme.

Kaum Padri adalah kaum agama yang kental dengan faham Wahabisme yang dibawa oleh tiga orang haji dari Mekkah sekitar tahun 1803: Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang.

Dengan kata lain, pasca perang Padri hingga saat ini, Minangkabau memang dalam cengkraman Wahabisme, atau setidaknya Neo-Wahabisme yang lebih moderat sebagaimana direpresentasikan oleh Ormas Muhammadiyah, NU, dan ajaran Ikhwanul Muslimin yang diadopsi oleh aktivis parpol Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Selanjutnya, mengenai kategori, kilas sejarah Wahabi secara umum, nama-nama ulama Wahabi, dan lembaga/yayasan/pesantren Wahabi, antara lain dapat di lihat di sumber ini.

Penolakan terhadap warna perbedaan agama khususnya di internal (sekomunitas Minangkabau) merupakan salah satu ciri ekspresi partikular dari faham puritan Wahabisme. Faham ini menyenangi ekslusifitas, keseragamaan, atau persamaan terkait agama. Dan menolak keras warna perbedaan, khususnya perbedaan di internal sendiri. Hal mana tidak terjadi ketika faham Wahabisme belum masuk ranah Minang.

Sejarah mencatat bahwa Islam masuk ke ranah Minang sekitar abad ke-7 M. Sebelum masuknya Islam, Minangkabau sebagai wilayah hukum adat, sudah eksis. Nenek Moyang orang Minang beragama Hindu bahkan Animisme. Kemudian datanglah siar Islam ke ranah Minang pada abad itu. Islam pun tersebar ke seantero wilayah kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Namun Islam yang dipeluk oleh orang Minang pada waktu itu umumnya masih tergolong sebagai "Islam Abangan", mengutip Clifford Geertz dalam bukunya The Religon of Java yang monomental itu. Di ranah Minang "Islam Abangan", waktu itu, dikenal dengan istilah "Kaum Adat".

Kehidupan beragama (Islam) di Minangkabau periode awal tersebut masih diwarnai praktik-praktik menyimpang dari ajaran Islam, seperti kebiasaan judi, sabung ayam, madat, sirih, tembakau, pranata hukum adat matriakat, dan longgarnya pelaksanaan syariat Islam. Keadaan ini yang didapati oleh Tiga Haji sepulangya dari tanah Mekkah.

Rupanya, faham Wahabisme Tiga Haji ini menyebar dengan cepat di Minangkabau. Tercatat kemudian diikuti oleh Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Pasaman, Tuanku Tambusai, Tuanku Rao, Tuanku Lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek, dan Tuanku Barumun---kesemuanya menjadi pimpinan kaum Padri dengan julukan "Harimau Nan Salapan".

Harimau Nan Salapan kemudian mengutus Tuanku Lintau---orang Tanah Datar, pusat kerajaan Pagaruyung berada---untuk menemui Raja Pagaruyung Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat. Tuanku Lintau meminta Raja dan Kaum Adat meninggalkan kebiasaan yang bertentangan dengan syariat Islam. Namun perundingan menemui jalan buntu.

Singkat cerita, Tuanku Pasaman pertama kali melakukan serangan ke Kerajaan Pagaruyung. Raja dan Kaum Adat terdesak. Entah bagaimana detail ceritanya, Raja kemudian meminta bantuan pada balatentara Hindia Belanda. Lalu terjadilah perang besar antara Kaum Padri melawan Kaum Adat dengan sokongan Belanda. Seiring waktu kaum Adat Menyadari kekeliruannya melibatkan Belanda dan malah berbalik menyerang Belanda. Jadilah Perang Padri terdiri dari dua peristiwa yang berbeda: (i) perang antara Kaum Padri melawan Kaum Adat dan (ii) perang Kaum Padri + Kaum Adat melawan Belanda.

Perang Padri berakhir tahun 1838 seiring tertangkapnya satu persatu pimpinan Kaum Padri, yakni Harimau Nan Selapan, termasuk Tuanku Imam Bonjol yang paling menonjol. Di sini menariknya. Kaum Padri menang melawan Kaum Adat, tapi Kaum Padri kalah melawan Belanda.

Prasasti kemenangan Kaum Padri tertulis dalam apa yang disebut "Palakat Puncak Pato", Bukit Marapalam, Tanah Datar. Dalam Plakat inilah tercantum adagium adat yang sangat terkenal di Minangkabau, yakni "adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah" (ABS-SBK) (adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah---ini terjemahan bebas, karena sandi sebenarnya tidak persis sama dengan sendi (bahasa Indonesia). Sandi semacam pengganjal di bawah sebuah tiang rumah, suatu benda/batu/kayu yang menopang di bawah tiang sehingga tiang bisa berdiri kokoh menegakkan rumah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline