[caption id="attachment_218926" align="aligncenter" width="650" caption="Poster Film Cinta Tapi Beda/Foto: 21Cineplek.com"][/caption] Beberapa Ormas Minang melaporkan Hanung Bramantyo Cs ke Polda Metro Jaya, Senin (7/1/2013). Alasannya, film anyar berjudul Cinta Tapi Beda karya Hanung Bramantyo dianggap menyebarkan rasa kebencian serta menggambarkan hal yang bertolak belakang dengan adat Minangkabau. Dimana dalam film diceritakan kisah cinta gadis Padang (Diana) yang beragama Katolik. Padahal, menurut pelapor, Minang identik dengan Islam dan jika seorang keluar dari Islam maka orang itu dianggap bukan orang Minang lagi. Pelapor dalam kasus ini adalah Badan Organisasi Kebudayaan Alam Minang, Ikatan Mahasiswa Minang dan Ikatan Pemuda Pemudi Minang Indonesia (IPPMI); adapun terlapornya adalah Sutradara film Hanung Bramantyo, Produser Raam Punjabi, dan Agni Pratistha Arkadewi selaku pemeran utama perempuan (Diana), yang dikatakan, seorang gadis Minang beragama Katolik; sementara pasal-pasal yang disangkakan pada Hanung Cs adalah Pasal 2 dan Pasal 6 huruf c, d, e, dan f UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Pasal 2 UU Perfilman mengatur asas-asas perfilman Indonesia, meliputi: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, bhinneka tunggal ika, keadilan, manfaat, kepastian hukum, kebersamaan, kemitraan, dan kebajikan. Pasal yang terkait asas begini tidak berkonsekuensi pidana terhadap pelanggarannya. Sementara, Pasal 6 UU Perfilman selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang: a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; b. menonjolkan pornografi; c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan; d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama; e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau f. merendahkan harkat dan martabat manusia.
Konsekuensi pelanggaran Pasal 6 UU Perfilman diatur dalam Pasal 80 dengan ancaman pidana maksimal 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.10 miliar. Penjelasan resmi UU Perfilman terhadap kata "provokasi" dalam Pasal 6 huruf c adalah bahwa isi film berisi hasutan yang menyebabkan terjadinya konflik horizontal dan pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan; kata "menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama" dalam Pasal 6 huruf d artinya adalah bahwa isi film berisi penistaan, pelecehan, penghinaan, dan penodaan ajaran agama; sedangkan Pasal 6 huruf a, b, e, f dianggap sudah jelas atau tidak ada penjelasan resminya dalam UU Perfilman ybs. Jika redaksional Pasal 6 huruf a, b, c, d, e, dan f UU Perfilman tersebut diperbandingkan dengan penjelasannya, terlihat tetap saja ketentuan pasal ini tidak jelas. Inilah kebiasaan jelek perumus undang-undang kita, memberi penjelasan yang tidak jelas. Setelah dijelaskan pasal ybs tetap multitafsir karena mengandung kata-kata yang masih harus dijelaskan kembali, seperti kata: penistaan, pelecehan, penghinaan, dan penodaan. Karena itu, jika kasus Hanung Cs ini dibawa ke proses hukum pidana akan sangat tergantung pada tafsir penyelidik, penyidik, jaksa penuntut umum, dan hakim. Biasanya, penyidik akan meminta keterangan ahli bahasa dan ahli perfilman untuk memberi penjelasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan dan profesi. Dalam suasana kebatinan hukum Indonesia yang masih kuat tekanan massa, aparat penegak hukum rawan mengikuti tekanan massa atau kelompok tertentu. Ini dari segi analisa yuridis-sosiologis. Sedangkan analisa yuridis-normatif yang dapat penulis lakukan; bahwa pelaporan tersebut tidak memiliki cukup dasar hukum untuk ditindaklanjuti. Alasannya, Pertama, kedudukan hukum si pelapor sendiri tidak jelas. Ormas-ormas tersebut tidak dapat bertindak mewakili untuk dan atas nama suku Minang secara keseluruhan. Yang lebih tepat berkedudukan hukum sebagai pelapor mestinya bukan Ormas-Ormas itu melainkan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) atau datuk-datuk penghulu suku. Kedua, akibat hukum yang disyaratkan Pasal 6 huruf c UU No 33 Tahun 2009, yakni sebagaimana penjelasan pasal ini dalam frase "yang menyebabkan terjadinya konflik horizontal dan pertentangan antarkelompok...dst" sama sekali belum terjadi. Belum ada konflik horizontal dst itu akibat pemutaran atau peredaran film Cinta Tapi Beda ini. Karena itu, unsur Pasal 6 huruf c ini sangat lemah diterapkan dalam kasus ini. Ketiga, begitupun substansi unsur Pasal 6 huruf d tentang "menistakan dst nilai-nilai agama", juga sangat lemah diterapkan pada film ini. Sebab, dalil 'Minang identik dengan Islam' tak lebih dari klaim sepihak yang tidak mengikat dan berkonsekuensi hukum apapun dalam perspektif hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini. Sama dengan adagium adat Minang "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah" hanya berhenti di adagium dan tidak mengikat dalam perspektif hukum nasional karena bertentangan dengan konstitusi---yang sejarahnya sebenarnya politis, karena adagium ini baru muncul di dalam "Plakat Puncak Pato", Bukit Marapalam, Tanah Datar, pasca kekalahan kaum Adat melawan kaum Padri dalam Perang Padri (1803-1838). "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang", kata Pasal 18B UUD 1945. Sementara itu, memilih agama dan pindah agama merupakan hak asasi manusia yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28I, Pasal 29 UUD 1945). Dalil bahwa 'Minang identik dengan Islam dan jika keluar dari Islam bukan lagi orang Minang' adalah klaim politis dan tidak mengikat secara hukum nasional, bahkan juga hukum adat sendiri. Pasalnya, penentu apakah orang Minang secara genekologis atau bukan adalah orang yang dilahirkan dari ibu orang Minang, yakni garis keturunan yang ditarik dari jalur ibu; bukan (garis) agama. Lagi pula, sebelum-sebelumnya tidak ada adagium adat seperti di atas. Bahkan jika ditarik garis sejarah yang lebih panjang, akan terlihat fakta sejarah, bahwa suku Minang dulunya beragama Hindu bahkan Animisme. Suku Minang lebih dulu ada berikut agama dan kepercayaan lama, baru datang siar Islam ke ranah Minang. Jadi, suku Minang lebih dulu ada dibandingkan Islam di tanah Minangkabau. Bahkan, Raja Adityawarman yang memerintah kerajaan Pagaruyung (1347-1375 M) dan anak-anaknya bukan beragama Islam. Adityawarman memang bukan orang Minang melainkan orang Majapahit akan tetapi keturunannya adalah orang Minang, karena garis keturunan Minang diambil dari jalur ibu. Jadi, Minang tidak identik dengan Islam. Dan orang Minang tidak wajib beragama Islam dalam perspektif hukum positif, karena pilihan beragama merupakan hak asasi manusia. Dalam konteks ini, andai kata ada hukum adat yang bertentangan dengan hukum positif, maka hukum adat itu harus tunduk pada hukum positif, hal mana sebagai konsekuensi dari negara hukum dan supremasi hukum. Yang lebih prinsip, setiap warga negara berhak dan dijamin konstitusi untuk menganut agama apapun, keluar dari agama, dan masuk kembali ke agama semula. Pindah agama adalah hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun, begitupun masuk atau memeluk agama. "....[H]ak beragama....adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun," tegas Pasal 28 I ayat (1) UD 1945. Andai kata ada tafsir dari para penyelidik, penyidik, jaksa penuntut umum, dan hakim bahwa terpenuhi usur Pasal 6 UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, maka sifat melawan hukum demikian hapus oleh ketentuan hukum yang lebih tinggi, yakni sebagaimana ditentukan UUD 1945 di atas. Dalam pada itu, unsur Pasal 6 huruf e dan f sama sekali sulit terpenuhi terhadap peristiwa hukum berupa pembuatan dan pengedaran film Cinta Tapi Beda ini. Silahkan ditonton filmnya atau dibaca sinopsis filmnya di sini, sama sekali tidak tercermin suatu dorongan kepada khalayak umum agar melawan hukum atau merendahkan harkat dan martabat manusia. Berbeda halnya jika film Cinta Tapi Beda ini menceritakan kisah yang berisi ajakan supaya warga negara tidak mematuhi undang-undang yang ada di Indonesia, maka baru terpenuhi unsur Pasal 6 huruf e UU Perfilman. Atau, jika film ini sendiri menceritakan kisah yang menganjurkan supaya semua orang membunuh ibunya, bapaknya, menyiksa orang tua, dan semacamnya---maka bisa saja ditafsirkan merendahkan harkat dan martabat manusia. Hal yang tidak terjadi dalam film ini. Karena itu, agak mengherankan membaca berita Hanung Cs tunduk pada tekanan masa dan tidak mau menghadapi kasus ini ke jalur hukum. Hanung Cs malah menarik film Cinta Tapi Beda dari peredaran (Kompascom, 6/1/2013). Mestinya, jika terjadi pro dan kontra di masyarakat, pihak seniman perfilman atau siapapun tidak begitu saja mengalah jika sudah yakin berbuat benar, yakni dengan menyerahkan sengketa ke proses hukum. Biarlah hukum yang memutuskan apakah suatu film melanggar hukum dan harus ditarik. Jika kasus ini menjadi preseden di kemudian hari maka bisa dipastikan akan berpengaruh terhadap kreatifitas dunia seni khususnya film. Pekerja seni di dunia film akan takut-takut membuat kreatifitas karena dengan gampangnya dituduh yang tak masuk akal lantas si penuduh yang memenangkan konflik tanpa melalui proses hukum. Kepolisian dalam hal ini pun harus berani bertindak benar sesuai hukum dan konstitusi sebagaimana digariskan UUD 1945. Jangan takut dengan tekanan massa. Saatnya polisi bertindak berdasarkan hukum, bukan tekanan massa atau kelompok atau golongan. (SP) Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H