[caption id="attachment_221200" align="aligncenter" width="620" caption="Buruh berunjuk rasa di kawasan industri MM 2100, Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (3/10/2012). Dalam aksi yang dilakukan serentak di Jabodetabek ini, buruh menuntut agar pemerintah menghapuskan sistem kerja outsourcing, menaikkan upah buruh dan segera menjalankan jaminan sosial kepada buruh./Admin (KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES)"][/caption] Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi diberitakan akan mengeluarkan aturan baru praktik sistem alih daya atau outsourcing berbentuk Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) tentang Syarat Penyerahan sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, hari ini, Jumat (2/11).
Materi muatan
Menurut Sunarno, Kepala Biro Hukum Kemnakertrans, sebagaimana dikutip Kompas.com di sini, hasil kesepakatan pertemuan Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional (LKS Tripartit Nasional) sebagai dasar materi perumusan beleid ini adalah, pertama, perusahaan boleh menyerahkan sebagian kegiatan pekerjaan yang bukan inti melalui perjanjian pemborongan atau perjanjian penyedia jasa pekerja.
Kedua, setiap perusahaan harus menetapkan alur kegiatan utama pekerjaan perusahaan dan kegiatan penunjang. Ketiga, outsourcing hanya untuk lima bidang pekerjaan, yaitu cleaning service, keamanan, katering, transportasi, dan jasa pertambangan. Dan, keempat, masa transisi untuk penyesuaian aturan tersebut selama enam bulan sampai satu tahun
Pro kontra
Tak dinyana, pro dan kontra terus bermunculan terkait substansi materi muatan rancangan beleid tersebut yang kebetulan telah disosialisasikan sejak lama. Menariknya, pihak yang kontra adalah kalangan buruh sendiri dan pengusaha. Inti penolakan tersebut adalah, potensi besar pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai konsekuensi dari beleid tersebut.
Alasan bertentangan dengan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) pun dijadikan basis argumen untuk rencana mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap objek beleid dimaksud. Kongkritnya, aturan baru ini dipandang bertentangan dengan UUK karena membatasi pekerjaan yang bisa dialihdayakan hanya terdiri dari lima macam pekerjaan saja: cleaning service, sekuriti, katering, transportasi dan jasa tambang atau migas. Sedangkan UUK tidak membatasi lima macam pekerjaan demikian.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan Pasal 65 ayat (2) UUK, syarat pekerjaan yang dapat dialihdayakan yaitu jenis pekerjaan yang (i) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, (ii) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja, (iii) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan (iv) tidak menghambat proses produksi perusahaan secara langsung.
UUK tidak membatasi hanya lima pekerjaan saja yang dapat dialihdayakan, melainkan hanya merinci syarat-syarat pekerjaan yang dapat dialihdayakan. Sekalipun rincian syarat pekerjaan yang dapat dialihdayakan tersebut sifatnya belum detail-operasional.
Nah, disinilah peran pemerintah selaku regulator untuk merinci dan memperjelas UUK tersebut dengan aturan teknis-operasional semisal Permenakertrans. Dari sudut pandang teori legal drafting, pembatasan pekerjaan yang dapat dialihdayakan hanya lima macam tersebut memang kontroversial.
Pasalnya, pembatasan norma perundangan setingkat undang-undang harusnya dengan undang-undang pula, perundangan yang selevel. Tidak membuat norma baru. Permenakertrans idealnya hanya memuat aturan yang sifatnya melaksanakan aturan di atasnya dalam tataran teknis-operasional.