Percaya atau tidak saya dapat berbahasa Indonesia saat usia sudah 10 tahun. Era 1980-an di kampung saya, Manausembilan, Padang Guci, Kabupaten Bengkulu Selatan, Bengkulu, para guru masih sering memakai bahasa daerah (Melayu Besemah) saat mengajar di muka kelas. Jadilah saya berbahasa ibu (Melayu) sejak di rumah, di pergaulan, dan di sekolah.
Untung saja belum genap setahun sekolah di kampung asal tersebut saya dan keluarga pindah ke Desa Margasakti, Kecamatan Padang Jaya, Kabupaten Bengkulu Utara. Di sini guru-guru sekolah berbahasa Indonesia sepenuhnya di ruang kelas baik tingkat SD, SMP, sampai SMA. Pergaulan juga memakai bahasa Indonesia karena banyak interaksi dengan berbagai suku, seperti suku Jawa, Batak, Bali, dll. Hanya di rumah dan pergaulan dengan sesama suku yang masih menggunakan bahasa Melayu.
Saat pertama di sekolah baru, saya bahkan tidak mampu menjawab pertanyaan dalam bahasa Indonesia "siapa nama kamu?". Mungkin juga demam panggung. Ha-ha-ha. Benar-benar primitif. Begitulah.
Tidak sampai satu tahun di Bengkulu Utara saya sudah bisa berbahasa Indonesia. Ternyata bahasa Indonesia mirip bahasa Melayu Besemah, beberapa kata bahasa Indonesia tinggal ganti huruf a di ujung tiap kata dengan e sehingga jadilah bahasa Melayu Besemah. Contoh, kemana jadi kemane, siapa jadi sape, nama jadi name, dll.Selebihnya sama persis: ayam, anjing, kursi, tamu, kakak, dll.
Saat itu usia saya sekitar 10 tahun. Maklumlah di kampung banyak yang mulai sekolah kelas satu sekolah dasar pada usia 8 hingga 9 tahun. Saya sendiri masuk kelas satu sekolah dasar pada usia hampir 9 tahun. Sempat juga berhenti sekolah di kelas tiga sekolah dasar.
Setelah pandai membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia saya terus menggunakan bahasa ini terutama dalam pergaulan sehari-hari. Di keluarga pun memakai bahasa Indonesia.
Yang saya alami bahasa Indonesia tidak ada sulit-sulitnya sama sekali. Entah mengapa belakangan ini jadi momok para siswa. Nilai tes bahasa Indonesia acap lebih rendah dibandingkan bahasa Inggris. Ada apa?
Berdasarkan pengalaman yang lalu, menurut saya, pangkal soalnya adalah karena pelajaran bahasa Indonesia didominasi hafalan teori-teori dan tata bahasa. Bukan praktik percakapan, mendengar, membaca, dan menulis. Tentu saja oreintasi hafalan teori-teori bahasa---subjek, predikat, diterangkan-menerangkan, kalimat efektif, pembentukan paragraf, prosa, puisi, dst---adalah omong kosong setidaknya untuk tahap awal.
Bakar saja semua buku teori bahasa indonesia itu lalu beralih ke praktik percakapan sehari-hari, mendengar, membaca, dan menulis. Dijamin tok-cer.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H