Lihat ke Halaman Asli

Sutomo Paguci

TERVERIFIKASI

Advokat

Dukung Jokowi, Tolak Prabowo!

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1346048821735470579

[caption id="attachment_195355" align="aligncenter" width="613" caption="Ketua Dewan Pembina Partai GERINDRA Prabowo Subianto. Sumber foto: firstpost.com"][/caption] PERPOLITIKAN seputar Pilkada Jakarta 2012 tak terlepas agenda pilpres 2014. Siapapun yang memenangkan kontestasi Pilkada Jakarta Putaran Kedua 20 September 2012 mendatang diyakini berpengaruh signifikan terhadap daya keterpilihan calon presiden partai pengusung. Karena itu, tak heran setiap partai pengusung kedua pasangan calon nampak habis-habisan mendukung jagoannya. Tak terkecuali PDI Perjuangan dan Gerindra yang mengusung pasangan Jokowi-Ahok. Menarik mencermati pandangan kaum nasionalis-terdidik di media sosial terkait dukungan politik pada pasangan Jokowi-Ahok bersamaan menolak Prabowo Subianto sebagai Capres 2014 mendatang. Dalam hal ini, terlepas apapun agama Jokowi-Ahok dan Probowo Subianto. Dikatakan bahwa dukungan politis pada pasangan Jokowi-Ahok bukan karena alasan agama. Pasalnya, adalah tidak relevan menjadikan agama sebagai faktor penentu-utama untuk mendukung atau tak mendukung dalam sebuah kontestasi demokrasi kebangsaan seperti Pilkada, Pilpres dan Pileg, melainkan visi dan misi serta rekam jejak kepemimpinan terdahulu. Seagama pun tanpa memiliki visi dan misi serta rekam jejak kepemimpinan yang memadai tidak ada gunanya. Toh kandidat terpilih kepala daerah kelak juga tidak boleh mengurusi soal-soal kegamaan, karena berdasarkan Pasal 10 ayat (3) huruf f UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, urusan agama merupakan kavling pemerintah pusat. Sebaliknya, menolak Prabowo Subianto juga bukan karena faktor agama melainkan karena faktor rekam jejak masa lalu ybs, yang sarat dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Sebut saja kasus penculikan aktivis gerakan pro-Reformasi 1998. Setidaknya ada 13 orang aktivis yang diculik, termasuk seniman teater rakyat Widji Thukul, aktivis Herman Hendrawan dan Petrus Bima hilang hingga saat ini dan diduga kuat sudah tewas. Prabowo sendiri sudah mengakui memerintahkan "Tim Mawar" Kopassus TNI menculik sembilan orang aktivis pro-Reformasi tahun 1998, diantaranya Haryanto Taslam, Desmond J Mahesa dan Pius Lustrilanang. Kepada Haryanto Taslam, Prabowo sudah meminta maaf dan diterima permintaan maafnya oleh ybs. Akan tetapi keluarga korban penculikan lainnya belum mau memaafkan Prabowo hingga tulisan ini diturunkan. Tarok kata dimaafkan pun tidaklah menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan pidana penculikan dan pembunuhan. Sebagaimana diketahui, anggota "Tim Mawar" Kopassus TNI sudah disidangkan, dinyatakan bersalah dan dijebloskan ke penjara atas aksi penculikan demikian. Hal yang sama belum dilakukan kepada sang Komandan, Prabowo. Ini sungguh amat sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin pertanggungjawaban perintah militer kepada anak buah. Dalam artikel bertajuk "Prabowo Sebaiknya Menyerahkan Diri", penulis anjurkan Prabowo sukarela menyerahkan diri kepada penegak hukum supaya diadili. Jika terbukti bersalah, silahkan jalankan hukuman. Sebaliknya, jika tak terbukti bersalah, ya nikmati pembebasan yang ada. Sehingga hitam-putih pertanggungjawaban hukum menjadi jelas. Tidak menggantung seperti saat ini. Bangsa sebesar Indonesia tidak boleh terjebak memilih pemimpin yang tersangkut kasus hukum dan belum diadili atas dugaan serius suatu tindak pidana penculikan dan pembunuhan. Jika Prabowo ogah menyerahkan diri secara sukarela, penulis anjurkan kepada aparat penegak hukum untuk pro-aktif melakukan penangkapan terhadap Prabowo, sebagaimana artikel berjudul "Mengapa Prabowo Sebaiknya Ditangkap". Harus diingat bahwa tindak pidana penculikan dan pembunuhan bukanlah delik aduan dan karenanya penegak hukum sebaiknya segera melakukan penangkapan terhadap semua pelaku lapangan dan otak pelakunya, dalam hal ini Prabowo Subianto. Toh, Prabowo sudah mengakui perbuatannya memerintahkan "Tim Mawar" Kopassus TNI, dan ditambah putusan perkara anggota "Tim Mawar, maka secara hukum sudah memiliki bukti yang cukup untuk menyeret Prabowo ke proses hukum dan ditetapkan sebagai tersangka. Dalam kedua artikel yang linknya ditautkan di atas disebutkan bahwa tidak ada alasan pembenar dan pemaaf dari tindakan Prabowo menculik aktivis pro-Reformasi 1998 tersebut, baik secara konstitusi, secara hukum militer, maupun politis. Karena waktu itu negara tidak dalam keadaan perang dan warga yang diculik tersebut adalah warga sipil dan bukan musuh negara. Sedangkan dalam keadaan perang saja adalah terlarang menculik dan membunuhi warga sipil dan pelanggaran terhadapnya merupakan kejahatan perang. Jangan sampai anggapan "tebang pilih" dalam penegakan hukum terus dilestarikan di era demokrasi dan supremasi hukum. Mentang-mentang Prabowo orang kuat, punya partai, dan kaya raya maka mata Dewi Keadilan dipicingkan. Sedangkan kepada Nenek Minah, Prita Mulyasari dan lain-lain rakyat kecil pedang Dewi Keadilan demikian tajam menebas tanpa ampun. Karena itu, andai kelak terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi-Ahok tidak boleh menggunakan kekuasaannya untuk tujuan lain dari diberikannya kekuasaan itu, yakni mensejahterakan warga DKI Jakarta. Bukan malah memberikan dukungan buta pada Prabowo Subianto, apalagi sampai menggunakan kekuasaan untuk membantu Prabowo dari jerat hukum, andai proses hukum itu kelak benar-benar terjadi. Dukung Jokowi, tolak Prabowo. Lawan penyakit lupa. ------------------ (*) Penulis adalah Advokat/Praktisi Hukum independen yang tidak berafiliasi dengan partai apapun dan kepentingan politik siapapun, kecuali pandangan pribadi. Referensi: Kompasiana.com, Prabowo Sebaiknya Menyerahkan Diri ------------, Mengapa Prabowo Sebaiknya Ditangkap id.wikipedia.org, Prabowo Subianto




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline