[caption id="attachment_194174" align="aligncenter" width="530" caption="Screenshot 1 jam setelah pernyataan kontroversial Denny Indrayana, oleh: VIVANews.co.id"][/caption]
Masih banyak ditemui anggapan keliru terhadap peran dan fungsi advokat/pengacara dalam sistem negara hukum. Ironisnya kekeliruan penilaian tersebut acap dilakukan oleh para sarjana hukum sendiri bahkan profesor hukum. Antara lain, disebutkan bahwa pengacara hanya membela yang bayar, pengacara koruptor sama dengan koruptor itu sendiri, dan sebagainya. Berikut ini dua contoh kasus anggapan sesat terhadap peran dan fungsi advokat dalam sistem negara hukum dari seorang ternama baik karena pendidikannya maupun karena kedudukannya: pertama, dari seorang profesor hukum tatanegara dan Wamen Prof Denny Indrayana, S.H.,LL.M., Ph.D dan, kedua, dari seorang Juru Bicara Komisi Yudisial Asep Rahmat Fajar, S.H. Denny Indrayana Denny baru saja bikin heboh dengan kultwitnya di @DennyIndrayana yang dirilis antara pukul 09.00-10.30 WIB, Sabtu 18 Agustus 2012. Kultwitnya antara lain menyebutkan, ""Saya pernah advokat, menolak klien kasus korupsi. Sudah sewajibnya. #Advokat Koruptor adalah Koruptor. Penerima bayaran dari hasil Korupsi#" Letak kesesatan anggapan Denny tersebut adalah (i) menilai advokat wajib menolak klien kasus korupsi, (ii) menyamakan advokat yang membela kasus korupsi sebagai koruptor, dan (iii) seolah menilai wajib advokat mengetahui asal usul uang yang diterimanya. Berdasarkan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) tanggal 23 Mei 2002, Advokat pada dasarnya tidak boleh menolak klien yang meminta bantuan hukum kepada dirinya, tanpa alasan yang sah secara etis dan hukum. Alasan sah menolak klien adalah, jika menurut keyakinan advokat ybs suatu perkara tidak ada dasar hukumnya (Pasal 4 huruf g). Kasus korupsi jelas ada dasar hukumnya. Denny menyatakan advokat koruptor sama dengan koruptor. Padahal, berdasarkan Pasal 18 ayat (2) UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat tidak dapat diidentikkan (disamakan) dengan kliennya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat. Dengan demikian, advokat yang membela kasus korupsi tidak boleh disamakan dengan koruptor, demikian pula advokat yang membela kasus pembunuhan tidak boleh disamakan dengan pembunuh, dan seterusnya. Advokat tidak identik dengan kliennya. Sementara itu, Denny menyamakan advokat yang membela kasus korupsi dengan koruptor karena menerima bayaran dari hasil korupsi. Dengan demikian advokat dinilai wajib mengetahui asal-usul uang pembayaran jasannya. Secara etiket memang demikian. Akan tetapi tidak mengikat atau memberi beban kewajiban hukum pada advokat. Dalam arti, advokat tidak wajib mengetahui sampai ke adanya bukti-bukti bahwa uang honorarium (baca: uang kehormatan) diperoleh dari klien bukan dari uang hasil korupsi. Asep Rahmat Fajar Asep sebagai Juru Bicara KY menyatakan perlunya kajian ulang jumlah pengadilan tipikor di daerah menyusul tertangkapnya hakim Pengadilan Tipikor Semarang Kartini Marpaung dan Hakim Pengadilan Tipikor Pontianak Heru Kusbandono dalam kasus dugaan suap Rp 150 juta terkait dengan perkara korupsi Ketua DPRD Grobogan, M. Yaeni. Salah satu alasan perlunya kajian demikian adalah, ada hakim yang eks pengacara pernah menjadi advokat sejumlah kasus korupsi. Pernyataan Asep/KY tersebut juga melanggar UU karena mengidentikkan advokat dengan kliennya. Sehingga ketika advokat mendampingi kasus korupsi dinilai sama dengan koruptor dan tak pantas jadi hakim pengadilan tipikor. Alasan demikian bersifat irrasional dan emosional, tidak rasional dan yuridis-proporsional. Syarat yang benar dalam rekrutmen hakim tipikor adalah rekam jejak antikorupsi dan profesionalitas yang bersangkutan. Seorang advokat yang mendampingi kasus korupsi bisa saja seorang yang antikorupsi: anti suap, sogok, dan semacamnya. Sebaliknya, tidak ada jaminan pengacara spesialisasi kasus pertanahan dan perceraian tidak melakukan praktik korupsi. Peran ideal advokat Mengutip Yusril Ihza Mahendra, kalau orang tidak korupsi dituduh membela koruptor, lantas apa kalau Presiden memberi grasi ke koruptor disebut Presiden Koruptor juga? Atau Presiden memberi grasi ke narapidana narkotik disebut Presiden Sindikat Narkotik? Hal mana terjadi saat SBY memberi grasi kepada terpidana narkotika asal Australia Schapelle Leigh Corby. Peran dan fungsi advokat dalam hal mengadvokasi kasus korupsi adalah mendudukkan hukum dari sudut pandang kepentingan dan hak-hak hukum kliennya. Ini wilayah penilaian dan keyakinan ekslusif profesional dari seorang advokat bersangkutan. Orang lain (pihak luar/pihak ketiga) bisa menilai sebaliknya tapi yang berlaku adalah sudut pandang penilaian Advokat. Advokat merupakan penegak hukum setara dengan unsur polisi, jaksa dan hakim. Semua unsur mutlak ada. Peran dan fungsi advokat dalam sistem negara hukum diperlukan untuk penyeimbang sistem peradilan supaya jangan berat sebelah. Warga negara (rakyat) selalu berada di pihak yang lemah ketika berhadapan dengan polisi, jaksa dan pengadilan. Daniel S. Lev pernah menyatakan, bahwa dalam setiap masyarakat, profesi advokat merupakan salah satu unsur sine qua non untuk menjamin keseimbangan antara lembaga-lembaga negara dan warga biasa. Tidak sulit untuk menghancurkan kesimbangan sistem penegakan hukum demikian. Cukup "bunuh" semua pengacara maka keberimbangan sistem peradilan akan timpang dengan sendirinya. "Let's kill all the lawyers", kata kalangan pemberontak di Inggris tempo dulu sebagaimana dipopulerkan William Shakespeare dalam drama Cade's Rebellion. Penyimpangan-penyimpangan dalam praktik advokat sudah bukan rahasia lagi, sama juga dengan praktik profesi lain semisal jurnalis, dokter, dan sebagainya. Karena itu, jika menemui penyimpangan demikian, silahkan lapor ke Dewan Kehormatan Advokat setempat. Secara pidana, silahkan lapor polisi atau jaksa atau KPK. Biar advokat nakal dipecat dan dijebloskan ke penjara.[] --------------------- Referensi: VIVANews.com, Tweet Denny Indrayana "Singgung" Advokat VIVANews.com, Yusril: Tweet Denny Indrayana Menyesatkan Tempo.co, Komisis Yudisial Minta Pengadilan Tipikor Dikurangi Kadafi, Binziad dkk. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi: Studi tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Kata Pengantar Daniel S. Lev, Cetakan Ketiga, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan The Asia Foundation, 2002.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H