Lihat ke Halaman Asli

Sutomo Paguci

TERVERIFIKASI

Advokat

Aku Bertanya, Ada Surat Kuasa dari Tuhan?

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13448370551698184806

Mungkin sekali ada orang yang tahan dirinya dicemooh akan tapi tak tahan jika agamanya dilecehkan. Perasaan dicemooh atau dilecehkan disini tentu saja menurut penangkapan perasaan manusia yang bersangkutan. Bisa jadi pihak lain tidak menganggap itu sebagai wujud cemooh atau pelecehan. Atau, seseorang bisa menerima agama orang lain dicemooh, tapi tak tahan agamanya sendiri dicemooh. Kemungkinan lain lagi, ada orang yang tahan agamanya dicemooh, tapi tak tahan jika ideologi atau aspirasi politik atau tokoh pujaannya dicemooh. Ini aneh sekali. Mengapa yang dicemooh agama, tapi diri kita yang tersinggung? Agama meliputi keyakinan, iman, ajaran-ajaran, dan ritual agama--kesemuanya pada hakikatnya adalah benda mati yang tidak bisa merasakan apa-apa. Tersinggung, merasa dilecehkan, merasa dikecilkan, merasa tak dihargai adalah perasaan yang dimiliki manusia. Agama tak punya perasaan semacam itu. Begitu pula halnya dengan ideologi. Ideologi tertulis di buku-buku atau penuturan lisan. Ideologi juga benda mati. Sebagai benda mati, ideologi politik tentu tidak dapat merasakan apa-apa. Tidak dapat merasakan dirinya dilecehkan, terhina, dan tercemarkan nama baik. Sama juga dengan lembaga atau institusi atau pranata. Lembaga adalah benda mati sekalipun ia secara hukum biasa disebut sebagai badan hukum (rechts persoon). Sebagai benda mati, lembaga tak bisa merasakan apa-apa: kebencian, keterhinaan, terlecehkan, tercemarkan nama baik, dan sebagainya. Begitupun tokoh pujaan, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Hanya tokoh itu saja yang berhak merasakan perasaan terhina, terlecehkan, atau tercemarkan nama baik saat dirinya dikritik atau dilecehkan. Sebab, ia yang punya diri. Apalagi tokoh yang telah mati, tentulah tak bisa merasakan apa-apa lagi, dan tidak bisa terlibat lagi urusan dunia. Entah pada titik mana seseorang merasa berwenang mewakili perasaan agama, Tuhan, ideologi, atau tokoh idola. Memangnya ada surat kuasa dari Tuhan, atau surat kuasa dari pencetus ideologi, atau surat kuasa dari si tokoh idola? Dengan surat kuasa tersebut seseorang berhak mewakili urusan pihak lain. Keterhubungan emosi, itulah kuncinya. Orang akan tersinggung jika pihak lain di luar dirinya dilecehkan, semata-mata karena ada hubungan batin dan ikatan emosional. Disinilah penting memilah-milah mana yang layak dibela dan mana yang tidak, karena ybs bisa membela diri sendiri. Saya akan tersinggung jika diri saya atau keluarga saya dihina. “Silahkan anda kritik saya tapi jangan hina saya”, kata Jusuf Kalla suatu ketika. Hmm. Sampai di sini mulai ada pikiran untuk menjaga jarak emosi sedemikian rupa, saat orang mengkritik agama, Tuhan, ideologi, dan tokoh idola.  Aku masih memikirkannya. Sambil berpikir ingatanku melayang pada petuah bijak Huanchu Daoren (1572-1620) berikut ini,

"Bila kamu sering mendengarkan kata-kata pedas dan selalu memikirkan masalah yang menyakitkan, hanya dengan itu kamu memiliki batu asahan untuk mengembangkan watak. Jika kamu hanya mendengar yang menyenangkanmu, dan berurusan dengan yang menggairahkanmu, maka kamu menguburkan dirimu dalam racun mematikan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline