Lihat ke Halaman Asli

Sutomo Paguci

TERVERIFIKASI

Advokat

Anatomi Pelanggaran KPK vs Polri dalam Kasus Simulator SIM

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1343915120187607397

[caption id="attachment_191050" align="aligncenter" width="600" caption="Korlantas Polri (Foto: Heru/Okezone)"][/caption] Polri cq. Kabareskrim Komjenpol Drs Sutarman menyatakan bahwa KPK telah melanggar etika antar lembaga ketika melakukan penyitaan barang bukti kasus dugaan korupsi Simulator Ujian SIM di Markas Korlantas Mabes Polri, Senin-Selasa (30-31/7/2012) lalu. Pasalnya, Polri dan KPK telah diikat MoU dalam penanganan kasus korupsi yang dilakukan bersama-sama. Setelah dipelajari dengan seksama, substansi kesepakatan Polri-KPK dalam MoU (poin selengkapnya sila lihat di sini) ternyata melanggar ketentuan dalam Pasal 50 UU No 30/2002 tentang KPK. Alasannya, dalam MoU tersebut KPK-Polri melakukan bagi-bagi tugas penyidikan (joint investigation) kasus korupsi, sedangkan dalam Pasal 50 UU KPK jelas disebutkan penyidikan kepolisian atau kejaksaan segera dihentikan jika KPK telah mulai melakukan penyidikan yang sama. Artinya, UU KPK melarang duplikasi penyidikan kasus antara KPK-kepolisian-kejaksaan demikian. Secara hukum, MoU merupakan perikatan keperdataan yang mengikat kedua belah pihak yang membuat dan menandatanganinya. Syarat-syarat supaya perikatan demikian sah menurut hukum salah satunya adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, tidak berlawanan dengan kesusilaan yang baik atau ketertiban umum (vide KUH Perdata Pasal 1320 jo 1337). MoU yang melanggar UU tersebut secara hukum dianggap tidak sah dan batal demi hukum (null and void). Akibat hukumnya, MoU tersebut dianggap tidak pernah ada atau dianggap tidak pernah lahir ke muka bumi. Karena MoU tersebut batal demi hukum, maka pihak Polri cq. Bareskrim dan KPK tidak memiliki dasar legitimasi yuridis untuk mempertahankan MoU demikian atau menjadikan MoU tersebut sebagai basis legitimasi suatu perbuatan hukum semisal penyidikan projustisia. Taroklah andaikata sebuah MoU sah dan mengikat secara hukum, karena semua syarat subjektif dan objektifnya terpenuhi, maka pelanggaran terhadapnya paling-paling hanya berkonsekuensi ingkar janji (wanprestasi) yang sifatnya keperdataan. Pihak yang merasa dirugikan dapat menggugat ke pengadilan setempat. Sebaliknya, level pelanggaran Kabareskrim Sutarman adalah melanggar UU Tipikor (Pasal 21) ketika menghalang-halangi penyitaan yang dilakukan KPK di Markas Korlantas Mabes Polri hari Senin-Selasa (30-31/7/2012), dan melanggar UU KPK (Pasal 50) ketika tetap ngotot menyidik kasus ini sedangkan KPK sudah melakukan penyidikan yang sama. Intinya, pelanggaran Sutarman Cs tersebut berdimensi pidana dan administrasi (disiplin) sekaligus. Dimana selain bisa berakibat sanksi hukum pidana (penjara dan denda), juga sanksi disiplin (teguran, pencopotan dari jabatan, pemecatan, dll). Simpulannya, KPK tidak melanggar norma hukum dan etik apapun karena MoU tersebut dinilai batal demi hukum. Sebaliknya, Polri cq. Kabareskrim jelas dan tandas melanggar UU Tipikor dan UU KPK.[]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline