Lihat ke Halaman Asli

Sutomo Paguci

TERVERIFIKASI

Advokat

Kasus Simulator SIM, SBY Sudah Benar

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PADANG -- Simpel sekali yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dugaan korupsi Simulator Ujian SIM di Korlantas Mabes Polri. Menghimbau. Tepatnya, menghimbau supaya KPK dan Polri bersinergi. Memang cuma sebatas itu yang bisa dilakukan seorang presiden terkait proses hukum penyidikan projustisia.

Presiden itu pangkatnya saja yang tinggi. Terkait proses hukum, ia tidak boleh mencampuri urusan penyidikan. Penyidikan itu wilayahnya ekslusif penyidik dengan garis komando tertinggi adalah Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Polri. Penyidik sepenuhnya harus independen. Jangankan pihak luar seperti presiden, seorang Kapolri saja harusnya tidak bisa ikut campur mengintervensi proses penyidikan di Polsek sekali pun. Institusi struktural di Polri bukan bersifat komando terhadap Reskrim, melainkan koordinasi dan supervisi. Selama ini oknum penyidiknya saja yang keblinger mau-maunya diintervensi atasan di luar Reskrim, diperintah-perintah.

Ketika penyidik sudah tak independen lagi karena dibawah perintah dan tekanan pihak eksternal di luar bagian Reskrim, maka saat itulah esensi penyidikan sudah tak ada lagi. Yang ada bukan tindakan penyidikan 'untuk ke adilan' (projustisia) melainkan 'untuk kekuasaan', bentuk lain dari perbuatan sewenang-wenang (wilekeur) dalam hukum administrasi negara. Wilikeur artinya melakukan sesuatu yang bukan kewenangan.

Yang dipatuhi Polri adalah hukum. Tidak bisa mentang-mentang presiden main perintah saja pada Polri supaya penyidikan kasus X harus begini-begana, lantas Kapolri nurut saja. Tidak boleh. Kapolri dan penyidik Polri hanya tunduk pada hukum, dalam hal ini perundang-undangan. Produk hukum yang dikeluarkan presiden, seperti keputusan presiden (Keppres) dan peraturan presiden (Perpres) wajib dipatuhi Polri.

Di mana-mana negara demokratis yang berlandaskan supremasi hukum demikian adanya. Di Amerika Serikat sekalipun, Presiden Barack Obama tidak bisa seenaknya panggil seorang Jaksa Agung atau Kepala Polisi lantas main perintah ini itu terhadap kasus hukum. Yang dipatuhi oleh Jaksa Agung dan Kepala Polisi adalah produk hukum.

Dengan demikian, cara-cara seperti dilakukan seorang Warpres Jusuf Kalla sebagai acting presiden (karena waktu itu SBY di luar negari) dengan main perintah pada Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri untuk menangkap pemilik Bank Century, Robert Tantular, dalam waktu tiga jam, adalah tidak dibenarkan. Tidak bisa berterima alasan JK bahwa ia melakukan tugas pemerintah yakni memerintah. Proporsi pemerintah memerintah ada tempatnya, bukan dalam konteks penyidikan kasus hukum.

Sama juga dengan kasus Simulator SIM di Korlantas Mabes Polri. SBY tidak boleh main perintah pada Kapolri supaya penyidikan begini-begana, si Anu bin Fulan harus ditetapkan tersangka, si X harus ditangkap, si Y harus ditahan, si Z harus dibiarkan saja. Tidak boleh.

Karena itu, apresiasi saya kepada konsistensi SBY dalam menjaga diri tidak melakukan intervensi terhadap proses penegakan hukum. Wilayah SBY selaku presiden adalah membuat produk hukum Keppres dan Perpres, serta bersama DPR RI membentuk undang-undang, yang akan menjadi rujukan hukum bagi kepolisian, kejaksaan, dan KPK.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline