Lihat ke Halaman Asli

Sutomo Paguci

TERVERIFIKASI

Advokat

Petani Tradisional, yang Tersisih dan yang Putus

Diperbarui: 26 Oktober 2015   10:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13429204871374493453

Saya telah mengamati kehidupan kaum tani hampir sepanjang hidup saya. Terlahir dari keluarga petani kopi sejak nenek moyang, saya hidup dari dan bersama kaum tani mulai di pedalaman Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, Merangin Jambi, dan pinggiran Kota Padang.

Yang kusaksikan, taraf kehidupan kaum tani tradisional tak beranjak sejak berpuluh tahun lalu hingga saat tulisan ini diturunkan. Kaum tani tradisional adalah mereka yang menyambung hidup dari bertani secara swadaya, dengan lahan terbatas, dan tanpa wadah badan hukum. Saya ingin menambahkan lagi di ujung definisi ini: tanpa perhatian dan perlindungan dari pemerintah!

Nah, dimana peran Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)? Apa kerja Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL)?--bapak saya dulu biasa mencemooh PPL ini dengan sebutan "PPL-an".

Kemana saja Departemen Pertanian? Karena kurangnya penyuluhan atau bimbingan pemerintah dan organisasi kaum tani, maka petani tradisional makin tersisih dari waktu ke waktu. Hasil panen mereka tak beranjak sejak zaman nenek moyang. Hasil panen yang sedikit itu kian hari kian digerogoti laju inflasi.

Dulu, era 1980-an, para petani kopi tradional di Pagarembun, Kabupaten Bengkulu Selatan, Bengkulu, bisa hidup bersahaja dengan hasil panen setahun sebanyak 800 kg kopi biji kering per areal sekitar 2-3 ha. Padahal, waktu itu, harga kopi hanya berkisar Rp.600-1.000/kg. Bandingkan sekarang, harga kopi robusta kelas asalan mencapai Rp.20-an ribu/kg di tingkat pengepul akan tetapi petani hidup ngos-ngosan dengan hasil panen 1.000 kg/tahun.

Untuk menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi, waduh, berat sekali dengan mengandalkan hasil panen. Inflasi umpama rayap menggerogoti hasil panen petani.

Bersebab kurangnya perhatian dari pemerintah berakibat para petani cenderung berladang berpindah-pindah di tengah jumlah penduduk yang kian bertambah dan luas lahan tidak bertambah. Keluarga saya adalah pelaku hidup dari kebiasaan berladang berpindah-pindah ini.

Tahun 1960-1984 berladang kopi dan bersawah di Pagarembun dan Surumekah, Kabupaten Bengkulu Selatan, Bengkulu. Tahun 1996-sekarang pindah lagi berladang kopi tradisional ke Muarasiau, Merangin, Jambi. Berkali-kali pindah berladang begini akan tetapi taraf kehidupan tidak berubah jadi makmur jaya.

Bagaimana tidak berladang berpindah jika hasil panen terus menurun sedangkan jumlah tanggungan keluarga yang harus dihidupi sandang-pangan dan pendidikannya kian bertambah dari tahun ke tahun. Para petani yang awam dan tradisional itu tak mengerti cara-cara meningkatkan hasil panen, cara merawat batang dan daun, cara mengatasi hama, teknik mengatasi gulma yang efektif dll.

Cara bercocok tanam kaum tani tradisional di pedalaman Bengkulu hingga Jambi, pun tak berubah dari era zaman Belanda hingga era Reformasi. Berbeda sekali perlakuan pemerintah pada para pelaku agrobisnis berbentuk badan hukum seperti PT, Koperasi, dll. Mereka dilayani berbagai fasilitas dan dilindungi dalam menjalankan aktivitas agrobisnisnya.

Masih mendingan para transmigran yang didrop dari tanah Jawa. Mereka ini juga diberi pelayanan dan fasilitas oleh pemerintah, mulai dari penyediaan lahan, rumah, listrik, jalan beraspal, sekolah, dan bantuan sandang pangan. Berbeda jauh dengan perlakuan pemerintah pada para petani tradisional di tempat yang sama. Kalau tidak percaya datanglah ke daerah Unit I s/d VIII di Bengkulu Utara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline