Pertama, aku mendaftar di Kompasiana. Itulah kejadian besar pertama. Gara-gara mendaftar di Kompasiana aku jadi menggila. Biasanya nulis satu artikel seminggu sudah merasa besar kepala, waaah, produktif gila! Di Kompasiana nulis satu artikel sehari berasa tidak nulis.
Kedua, dipertemukan dengan tulisan-tulisan Nabi Baru Prof Dr. Sakit Mental Erianto Anas. Peristiwa ini benar-benar menjungkirbalikan kesadaran gila yang sebenarnya memang telah mengendap lama dalam diri saya. Hanya saja kesadaran terpendam ini cuma terpendam saja, tergolek, tak tahu cara bangkit. Dan Erianto Anas membantu membangkitkan kesadaran gila itu. Karenanya, dalam kesempatan ini rasanya pantas berterima kasih pada Nabi Baru yang selalu menerima wahyu di depan laptopnya itu.
Gilanya, Erianto Anas ternyata orang Bukittinggi. Sedangkan aku sehari-hari tinggal di Padang dan setidaknya sebulan sekali lewat Bukittinggi untuk mengunjungi klien-klien di Bukittinggi dan Payakumbuh. Namun biarlah begitu. Cukuplah aku membaca tulisan-tulisan gilanya saja. Belum berpikir untuk kopi darat, aku takut ketularan kudisnya. Kecuali takdir mempertemukan.
Erianto Anas--aku menyebut langsung namanya tanpa embel-embel uda, mas, abang, pak, kyai, dst terkecuali gelar kebesarannya saja--benar-benar memberikan sudut pandang baru nan segar bagaimana berselancar dalam proses kreatif di pikiran. Termasuk merefleksi ulang cara beragama selama ini.
Sebagai ucapan terima kasih aku mulai rutin mengunjungi blognya di blogernas.blogspot.com. Setidaknya sampai seluruh tulisannya kubaca tuntas. Cobalah berkunjung ke sana siapa tahu kita dapat inspirasi 'ajaran sesat' yang sama. Bagiku pribadi, setidaknya ritual ini merupakan kelanjutan setelah mengikuti rutin tulisan para aktivis Jaringan Islam Liberal. Jadi, jika diminta satu blog terekomendasi bulan ini maka blog di atasalah dia.
Mengapa perlu tonjokan ke jidat kesadaran adalah karena beragama di ruang publik saat ini benar-benar sudah taraf amat sangat memuakkan. Sangat tidak spiritual, tidak menggerakkan, kering, hafalan, ritual rutin seperti robot, tanpa terobosan, dan di beberapa tempat sarat dengan aktivitas intoleran bahkan kekerasan atas nama agama.
Untuk saat ini begitulah adanya. Nanti mungkin pandanganku akan lain lagi. Karena pada dasarnya sulit untuk menghentikan proses permenungan tentang hakikat hidup, pikiran, interaksi sosial, dan norma-norma yang melingkupi semua itu. Bahwa otak dan kesadaran akan terus berputar seperti gasing. Berubah sisi setiap waktu. Berproses dan menjadi.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H