[caption id="attachment_184624" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi/shutterstock.com"][/caption]
Kekerasan psikis merupakan bentuk lain dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Jadi, KDRT tidak hanya kekerasan fisik penganiayaan dan semacamnya.
KDRT didefinisikan sebagai, setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Di sini ada empat macam KDRT dan kekerasan psikis termasuk diantaranya.
Kekerasan psikis dapat berupa perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7 UU PKDRT).
Disebut KDRT bila ada hubungan sebab-akibat antara perbuatan suami dengan akibat yang ditimbulkannya atau dirasakan oleh Ibu. Dengan kata lain, dapat disebut KDRT bila rangkaian penghinaan suami tersebut mengakibatkan ibu ketakutan, hilang rasa percaya diri, hilang kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Tidak mesti semua akibat ini terpenuhi melainkan cukup salah satu saja.
Istri yang dicemooh terus menerus oleh suami dengan panggilan "gemuk", "bungkuk", "sapi gembrot", "dingin seperti Antartika", dll bisa tergolong KDR jika mengakibatkan psikis istri tertekan, hilang rasa percaya diri. Atau, suami yang gemar main ancam "kubunuh kau!", "awas, kuceraikan!" dan semacamnya sehingga istri tertekan secara batin dapat terkategori sebagai KDRT psikis. Bentuk lainnya, istri dilarang suami bertindak apapun tanpa persetujuan suami, mau ke toilet aja harus izin suami, mau masak apapun itu harus persetujuan suami, dsb, dapat tergolong KDRT psikis jika mengakibatkan si istri kehilangan kemampuan untuk bertindak. Apalagi jika sampai mengakibatkan penderitaan psikis berat semisal istri jadi senewen atau gila.
Jika sampai berujung ke proses hukum, penentuan kadar gangguan psikis demikian akan dinilai oleh seorang ahli jiwa. Si istri juga akan dibantu oleh petugas pendamping.
Kepolisian akan membantu kooperatif si korban. Bukti permulaan sebagai patokan polisi bertindak juga tidak ribet seperti umumnya perkara pidana, cukup pengakuan satu saksi korban, nanti baru ditambah keterangan ahli jiwa yang akan didatangkan kepolisian/penuntut umum.
Karena itulah, ibu bisa mengingatkan suami dengan cara simpatik bahwa kekerasan psikis merupakan tindak pidana dengan ancaman 3 (tiga) tahun penjara bagi pelakunya.
Kemudian para istri perlu memahami kharakteristik KDRT agar dapat memilih reaksi yang tepat untuk perbaikan kondisi rumah tangga. Sebab, reaksi yang salah bisa memicu permasalahan lebih rumit lagi. Bila sampai taraf yang tidak bisa tertahankan lagi bisa-bisa berujung perceraian dan adu-mengadu ke kepolisian.
Direkomendasikan penyelesaian KDRT dengan mengutamakan mekanisme internal keluarga dan/atau mediasi pihak ketiga. Bila solusi sudah benar-benar buntu, barulah menempuh jalur hukum. Satu dan lain hal, pola KDRT cenderung berulang.
Mengutip Walker dan Gelles (dalam Frederick & Foreman, 1984) bahwa KDRT cenderung mengikuti alur sebuah siklus atau lingkaran kekerasan berulang terhadap istri (cycle of violence).
Siklus kekerasan tersebut adalah: (i) fase ketegangan; (ii) fase penganiayaan; dan (iii) fase bulan madu. Ketiga fase ini membentuk siklus sedemikian rupa.
Kekerasan psikis seperti penghinaan, cemooh dan sebagainya adalah fase ketegangan sebagai prakondisi sebelum kekerasan fisik (fase penganiayaan). Biasanya, setelah menganiaya istri maka suami akan merasa menyesal, menghibah, memohon maaf. Selanjutnya, istri akan luluh dengan hibahan suami. Keadaan terakhir ini dikenal dengan fase bulan madu, ketika relasi kembali rukun. Fase terakhir tersebut adalah fase yang krusial karena dari banyak penelitian, setelah fase bulan madu berakhir, siklus kekerasan cenderung terulang lagi. Dikatakan, sekali melakukan kekerasan, cenderung terulang kembali dan membentuk siklus sedemikian rupa. Siklus ini yang perlu dipintas dan diantisipasi. Faktor kriminogen KDRT psikis makin besar jika si istri tidak bekerja, tergantung secara materi, dan berpendidikan lebih rendah dari pada suami. Studi lain membuktikan bahwa, tingginya pendidikan atau taatnya suami beribadah bukanlah jaminan tidak menganiaya istri baik secara fisik maupun psikis. Akhir kata, adalah hak asasi seseorang untuk mempertahankan kemerdekaan tubuh dan psikisnya. Hak tersebut dijamin oleh UU.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H