[caption id="attachment_181404" align="aligncenter" width="475" caption="Foto ANTARA/Arief Priyono, Sumber: tempo.co"][/caption] Dalam konstitusi UUD 1945 kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia.
Pembatasan hak asasi manusia hanya bisa dilakukan dengan instrumen hukum setingkat undang-undang (UU).
"Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang...," tegas Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Bahkan hak beragama tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28I ayat 1).
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tata urutan peraturan perundang-undangan mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah berturut-turut: a. UUD 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR); c. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); d. Peraturan Pemerintah (PP); e. Peraturan Presiden (Perpres);
f. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi; dan g. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota.
Kekuatan hukum dari peraturan perundang-undangan ini sesuai dengan hirarki atau urutan tersebut. Dengan demikian, UU menempati posisi ke-3.
Dimanakah letak Surat Keputusan Bersama (SKB) dan Instruksi Kepala Daerah yang sering dijadikan dasar hukum untuk membatasi dan mempersulit pendirian rumah ibadah Yang jelas tidak masuk dalam hirarki peraturan perundang-udangan tersebut di atas!
Secara hukum administrasi negara, SKB dan Instruksi Kepala Daerah tersebut bukanlah peraturan (regeling) yang mengikat publik umum.