Lihat ke Halaman Asli

Sutomo Paguci

TERVERIFIKASI

Advokat

Mengapa Harus Praduga Tak Bersalah: Tanggapan atas Artikel Handoyo El Jeffry

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik sekali membaca pandangan Kompasianer Handoyo El Jeffry dalam artikelnya yang bertajuk "Kok Praduga Tak Bersalah, Sih?". Menurut Handoyo, salah satu penghambat pemberantasan korupsi oleh KPK adalah karena klirumologi dalam asas "praduga tak bersalah" tersebut. Lebih lanjut dicontohkan Handoyo, bagaimana mungkin pakai asas "praduga tak bersalah" pada si pencuri ayamnya.

Di sini penulis tidak akan mengemukakan berbagai perdebatan teoritis dalam ilmu hukum terkait asas "praduga tak bersalah" (Presumption of Innocence) terutama dalam hukum pidana, yang tentu bisa melahirkan satu buku pula. Juga tidak akan mengemukakan bagaimana sejarah asas ini mulai dari Yunani, Inggris, Prancis, AS, Belanda dan Indonesia. Itu semua bisa digogling dengan mudah di google dan wikipedia. Penulis hanya akan mencoba menarik benang merah berbagai teori hukum tersebut supaya masuk ke logika orang umum non ahli hukum, berikut dengan contoh kongkret.

Kongkretnya begini. Jika Handoyo El Jeffry mencontohkan ayamnya, penulis pun akan mencontohkan ayam penulis pula. He-he-he.

Seperti biasa tiap magrib ayam-ayam penulis akan digiring masuk ke kandangnya, warna-warni bulunya, dan 30 ekor jumlahnya. Tiap pagi sebelum berangkat kerja penulis akan memberi makan ayam-ayam itu sembari mengabsennya (menghitung) satu persatu. Betapa terkejutnya penulis suatu pagi jumlahnya bekurang satu, coy, tinggal 29! Usut punya usut ternyata ayamnya tetangga yang sebelumnya cuma 18 ekor, pagi ini dalam waktu semalam tiba-tiba bertambah 1 ekor lagi, jadi total 19 ekor. Hebatnya lagi, ayam tetangga yang satu ekor itu persis sama dengan ayam penulis yang hilang itu: jenis kelaminnya, ukuran tubuhnya, dan warnanya!

Penulis dengan penuh penasaran tapi tetap berusaha mati-matian memasang muka ramah (padahal sudah curiga banget deh), lalu bertanya pada si tetangga. Bertanyanya begini: "Pak Ben, ayam ane hilang 1 ekor tadi malam, bentuk dan warnanya persis sama dengan ayam sampean itu...seraya menunjuk tepat ke si ayam".

Si Ben dengan muka lugu seperti biasanya mengatakan bahwa ia tidak tahu menahu. Ayam yang penulis tunjuk itu adalah ayamnya. Ia pun bercerita memang dua hari sebelumnya pernah bilang jumlah ayamnya cuma 18 ekor, tapi sekarang ia meralat bahwa yang benar adalah 19 ekor. Ia sepertinya ngotot dan ingin mengakhiri pembicaraan. Bahkan pada satu titik percakapan, ia mempersilahkan penulis melapor saja ke polisi untuk mencari siapa pelaku pencurian ayam itu.

Oke deh, Ben sialan! Dalam relasi sosial pergaulan, penulis bisa saja langsung menuduh si Ben pelaku pencurian ayam itu. "Udah deh, Ben, ngaku aja loe. Elo kan yang mencuri ayam gue? Gue yakin elo pelakunya. Belaga pilon ente!," bentakku kesal. Boleh dong ya menuduh orang. Siapapun bisa menuduh. Tapi ceritanya menjadi lain andai si Ben tidak terima tuduhan saya, ia bisa saja melapor ke polisi dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik. Kata Kompasianer Orang Bijak Palsu, hidup selalu dualitas. Orang bisa menuduh siapapun, tapi yang dituduh boleh juga menuntut balik.

Sedangkan dalam sudut pandang hukum, khususnya hukum pidana, tidak bisa langsung main bikin kesimpulan sepihak begitu. Bahkan sekalipun sudah terang-benderang buktinya, apalagi jika tersangkanya menolak melakukan apa yang dituduhkan. Polisi selalu akan mencari bukti-bukti... Jejak kaki ternyata memang mengarah ke rumah si Ben! Saksi-saksi pun akhirnya dimintai keterangan, ayam sebagai barang bukti di ambil polisi (disita). Singkat cerita si Ben dipanggil ke kantor polisi dan ditangkap, diproses verbal sebagai tersangka, dan setelah semua lengkap kemudian kasusnya dilimpahkan ke kejaksaan untuk selanjutnya disidangkan di pengadilan. Pecah deh biduk pertetanggaan kita.

Jika menggunakan "praduga bersalah" maka hakikatnya tidak perlu repot-repot polisi menanyai si Ben, saksi-saksi, mengumpulkan barang bukti, melakukan proses verbal, melakukan pemberkasan perkara, dilimpahkan ke kejaksaan, kemudian disidangkan segala. Rangkaian proses itu saja bisa memakan waktu sampai enam bulan lamanya. Langsung aja si Ben dijebloskan ke penjara. Tidak perlu ditanya-tanya. Tidak perlu diproses verbal. Tidak perlu dilimpahkan ke jaksa. Tidak perlu repot disidangkan segala oleh hakim untuk menguji kebenaran semua tuduhan dengan perimbangan pembelaa dari terdakwa. Tidak perlu.

Begitupun dalam kasus korupsi. Siapa saja yang dicurigai korupsi langsung ditangkap malam-malam, dijebloskan ke penjara saat itu juga. Hartanya disita habis. Tak perlu disidang-sidang segala. Cukup polisi dan jaksa menetapkan sepihak berapa hukumannya. Hakim tak diperlukan. Bikin repot aja, dasar!

Maka,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline