Lihat ke Halaman Asli

Sutomo Paguci

TERVERIFIKASI

Advokat

Meluruskan Praktik Outsourcing

Diperbarui: 29 September 2015   09:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu tema berulang yang disuarakan kalangan buruh setiap perayaan Hari Buruh Sedunia atau May Day tanggal 1 Mei adalah penolakan sistem kontrak outsourcing (alihdaya).

Penerapan sistem outsourcing selama ini menempatkan posisi pekerja menjadi tidak terlindungi dan bisa di PHK tanpa pesangon setelah habis kontrak. Buruh hanya dianggap komoditas. Habis manis sepah dibuang.

Padahal, kerangka hukum sebenarnya dari outsourcing, tidak mesti mengabaikan perlindungan hak-hak buruh. Jikapun terjadi pengabaian hak buruh dalam praktik outsourcing, itu merupakan kreasi dunia kerja saja. Karena itu, dengan pemahaman terhadap ruang lingkup dan manfaat bisnis outsourcing, kesalahpahaman demikian diharapkan berangsur dapat diminimalisasi atau diletakkan dalam kerangka yang lebih proporsional. Sebab, bisnis outsourcing bukan saja berfaedah bagi dunia swasta, tetapi juga bagi badan-badan pemerintah.

Dalam hubungan ini, pengaturan regulasi outsourcing yang jelas dan tidak multitafsir dalam perlindungan hak buruh sekaligus bermanfaat dalam dunia bisnis dan pemerintahan merupakan suatu keniscayaan.

Ruang lingkup

Outsourcing adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar atau perusahaan penyedia jasa outsourcing (Chandra Suwondo, 2003: 3). Melalui pendelegasian tersebut, maka pengelolaan tak lagi dilakukan oleh perusahaan, melainkan dilimpahkan kepada perusahaan jasa outsourcing (Sehat Damanik, 2006: 2).

Dalam UU No 13/2003 tentang ketenagakerjaan (UUK) sendiri tidak dijumpai definisi outsourcing. Namun ada ketentuan yang mengatur substansi outsourcing, yakni mulai Pasal 64 s/d 66 UUK.

Menurut ketentuan Pasal 64 UUK, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Jadi, objek outsourcing meliputi pemborongan pekerjaan (outsourcing-produk) dan penyediaan jasa pekerja/buruh (outsourcing-jasa).

Syarat pekerjaan yang di-outsourcing-kan sebagaimana ditentukan Pasal 64 UUK tersebut diatur Pasal 65 ayat (2) UUK, yaitu (i) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, (ii) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja, (iii) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan (iv) tidak menghambat proses produksi perusahaan secara langsung.

Jadi menurut UUK, outsourcing tidak boleh pada layanan utama atau objek pekerjaan bersifat tetap. Karena itu, sudah benar apa yang dilakukan Bank Indonesia (BI) dengan melarang outsourcing pada layanan inti perbankan seperti teller, constumer service, costumer relation sebagaimana Peraturan Bank Indonesia No.13/25/PBI/2011 tentang Prinsip Kehati-Hatian Bagi Bank Umum.

Penyimpangan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline