Lihat ke Halaman Asli

Sutomo Paguci

TERVERIFIKASI

Advokat

Pengalaman Traumatis Dipermak Tukang Gigi

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1335332058704683389

[caption id="attachment_173577" align="aligncenter" width="300" caption="detik.com"][/caption] Kejadian yang kualami itu sudah lama. Mendadak ingatan bersemi kembali ketika, lagi browsing riset perkara di internet, terbaca berita Menteri Kesehatan RI bakal memberlakukan Permenkes No 1871/2011 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan No 339/1989, terhitung bulan April 2012 ini namun akhirnya ditunda enam bulan ke depan. Permenkes No 339/1989 itu sendiri mengatur kewenangan, larangan dan perizinan tukang gigi. Dengan Permenkes No 1871/2011,  tidak akan ada izin baru atau perpanjangan izin bagi tukang gigi. Bisa diperkirakan, beleid ini bakal meresahkan kalangan tukangan gigi yang berjumlah tak kurang 75 ribu orang di Indonesia. Permenkes No 1871/2011 tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya praktik tukang gigi yang melakukan tindakan medis layaknya dokter gigi, seperti melakukan penambalan, pemasangan behel, pencabutan gigi dan memberikan obat-obatan. Padahal, berdasarkan UU No 36/2009 tentang Kesehatan dan UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, yang berwenang melakukan tindakan medis hanyalah dokter dan dokter gigi. Pengecualian disini adalah tenaga kesehatan yang khusus diberi kewenangan melakukan tindakan medis oleh peraturan perundang-undangan, seperti bidan dan perawat. Pelarangan itu sendiri dapat dipahami sebagai bentuk penguatan akuntabilitas praktik tenaga kesehatan. Tukang gigi yang bukan merupakan profesi resmi yang memiliki kode etik baku dan tidak diatur dalam undang-undang tersendiri akan menyulitkan pertanggungjawaban hukum atau tanggung gugatnya jika terjadi malapraktik. Berbeda dengan dokter dan dokter gigi, yang memiliki kode etik dan diatur dalam undang-undang, tanggung gugat terhadap profesinya jelas baik secara etika maupun secara hukum (administrasi, keperdataan, dan pidana). Pada masa yang lalu, tepatnya 21 tahun lampau, waktu itu masih usia SMP, saya datang ke tukang gigi di dekat Terminal Argamakmur, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu. Satu hari sebelumnya, satu gigi tengah atas saya patah akibat terbentur batu sewaktu mandi terjun-terjunan di sungai. Bukannya membuat cetakan-gigi terlebih dahulu sebelum membuat gigi palsu, si mas tukang gigi langsung main bor saja. Satu gigi yang patah dibornya sampai mampat tinggal tunggulnya rata dengan gusi, sehingga maksudnya bisa ditimpa dengan gigi palsu. Lalu gigi palsu pun dicoba dipasang. Tapi tak berhasil. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, setidaknya itu yang nampak kuamati, mas tukang gigi kembali membor dua gigi di kiri dan kanan gigi yang patah tadi. Tak ayal gigi saya hancur berantakan. Sebagai anak-anak yang tidak mengerti sama sekali tindakan medis pada gigi, saya diam saja. Sementara bunyi bor menderu-deru di dalam mulut. Rasanya ngilu minta ampun. Akhirnya pemboran selesai. Tunggul gigi yang patah sudah rata dengan gusi. Kedua gigi di kiri dan kanan yang mengapit gigi patah tadi, tinggal tersisa kecil dan tipis. Mas tukang gigi segera memasukan gigi palsu dan berhasil! Mas tukang gigi nampak puas atas keberhasilannya. Saya pun lega dibuatnya, membayar jasa lalu melenggang pulang. Hari-hari pun berlalu. Tepat enam bulan setelah operasi gigi ngebor tersebut, masalah mulai muncul. Tunggul gigi patah yang dibor mulai membusuk. Baunya tercium seperti daging busuk. Rasanya di mulut juga seperti mengunyah daging busuk. Kepala terasa sering pusing kelenyengan. Ternyata pada setiap gigi ada lobang persis di teras gigi agak ke bawah. Lobang kecil ini terhubung ke akar gigi. Lobang ini terbuka gara-gara dibor, bakteri pun masuk sehingga mengakibatkan gigi membusuk. Dari hanya satu gigi yang patah, akhirnya menjadi tiga buah gigi yang rusak. Praktis kerusakan gigi itu permanen. Ketika mau direparasi ke dokter gigi bertahun-tahun setelahnya, saat sudah duduk di bangku kuliah, dokter gigi geleng-geleng kepala. Operasi oleh tukang gigi waktu itu adalah operasi yang beresiko tinggi, demikian kata dokter. Kerusakan permanen tiga buah gigi tidak bisa dipulihkan seperti sedia kala bahkan oleh dokter gigi sekalipun. Ibarat pepatah, gigi sudah menjadi bubur. Hanya bisa direparasi dengan gigi palsu. Dan ini tentu tidak nyaman di mulut, setidaknya butuh adaptasi sekian waktu. Dari pengalaman ini saya akhirnya bisa memahami betapa berbahayanya tindakan medis yang dilakukan oleh bukan ahlinya. Dan, tentu saja tidak jelas tanggung gugatnya baik secara etika maupun hukum.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline