Lihat ke Halaman Asli

Sutomo Paguci

TERVERIFIKASI

Advokat

Vonis Nazaruddin Serba Tanggung Tapi Tak Dilokalisir

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seandainya Nazaruddin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum, beranikah hakim memvonis dengan pidana maksimal? Terbukti tidak. Karena Nazaruddin dipidana "cuma" 4 tahun dan 10 bulan  penjara dan denda Rp.200 juta subsider 4 bulan penjara oleh majelis hakim Dharmawati Ningsih Cs, Jum'at (20/4). Lamanya pidana tersebut tidak maksimal untuk pelanggaran Pasal 11 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang ancaman pidananya lima tahun penjara.

Sebaliknya, seandainya dakwaan pada Nazaruddin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum atau terbukti tapi bukan merupakan tindak pidana, beranikah majelis hakim memvonis bebas atau lepas terdakwa Nazaruddin? Sekalipun Nazaruddin telah divonis bersalah, tapi pertanyaan ini tetap relevan karena vonis itu berpotensi besar belum akan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sebab terdakwa bisa saja banding dan kasasi.

Tentu saja tulisan ini tidak ada urusannya dengan apakah Nazaruddin divonis bersalah atau divonis bebas/lepas.

Pada intinya, penulis mempertanyakan independensi hakim. Hal ini menjadi relevan di tengah derasnya intervensi politik pada kasus ini. Bersamaan dengan kuatnya tekanan publik agar Nazaruddin dihukum.

Publik luas di luar perkara ini tentu saja tidak membaca berkas perkara, tidak akan menelaah alat bukti, dan tidak akan menganalisa persesuaian kesaksian para saksi dengan keterangan terdakwa dan barang bukti yang diajukan di muka persidangan.

Publik hanya tahu dari pemberitaan media massa. Dari pengetahuan itulah publik--warga orang per orang, media massa, aktivis LSM, lawan politik terdakwa, dan lain-lain--menjelma menjadi hakim. Mengapa disebut menjelma menjadi hakim? Karena hanya hakim yang berhak memvonis orang bersalah atau tidak bersalah.

Tekanan politik berpadu dengan desakan publik menjadikan seorang hakim benar-benar diuji independensinya.

Hakim memiliki semua perangkat lunak (software) independensi yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, perangkat lunak ini mungkin sekali tidak dapat bekerja dengan benar jika perangkat kerasnya (hardware) rusak. Hakim sebagai manusia adalah perangkat keras itu.

Sebagai manusia biasa, walaupun difiksikan wakil Tuhan, akankah hakim tetap jujur dengan hati nuraninya, jika memvonis seseorang akan berakibat pada karir si hakim itu sendiri? Misalnya memvonis terdakwa bersalah akan berakibat meroketnya karir hakim atau memvonis bebas terdakwa berpotensi melambatnya perkembangan karir si hakim.

Pertanyaan di atas sulit dijawab oleh pembaca secara presisi. Hanya mungkin dijawab oleh hakim itu sendiri. Namun, gambaran dunia praktik peradilan membantu kita semua menjawab pertanyaan itu.

Umumnya, vonis hakim dalam kasus korupsi serba tanggung. Divonis bersalah tapi pidananya ringan. Tidak ada vonis maksimal pidana mati atau pidana seumur hidup. Alasan yang acap mengemuka adalah, kesalahan terdakwa tidak layak diganjar pidana maksimal karena korupsi terdakwa bukan semata faktor pada diri terdakwa, tapi juga lemahnya pengawasan, budaya permisif, materialistik, hendonistik, dan sebagianya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline