Dikabarkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan putuskan nasib praktik pengobatan Ustadz Guntur Bumi (UGB) hari Selasa (11/3/2014) besok. Hal mana setelah MUI melakukan serangkaian pengumpulan data, pemanggilan, dan pemeriksaan kepada saksi-saksi. Direncanakan, setelah dikeluarkan ketetapan hari Selasa (11/4) besok, UGB akan kembali dipanggil. Demikian dikutip beritanya dari media online seperti Okezone.com dan Tribunnews.com, Senin (10/3/2014).
Dari cara kerja yang dilakukan MUI tersebut, jelas sekali tindakan MUI lebih dekat ke langkah hukum projustitia, yang biasa dilakukan oleh aktor negara (aparat hukum). Lebih dari itu, MUI bahkan lebih tepat disebut merangkap jabatan: umpama polisi, jaksa dan hakim sekaligus. Pertanyaannya, apakah memang patut dan layak MUI melakukan tindakan demikian? Memang siapa MUI?
MUI tak lebih hanya organisasi kemasyarakatan (Ormas) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). MUI bukan siapa-siapanya negara, bukan aktor negara, bukan cabang kekuasaan negara, bukan badan resmi negara, bukan lembaga resmi negara. MUI hanya LSM. Lah, kok berani-beraninya MUI "gagah-gagahan" kayak penyidik polisi saja periksa-periksa dan panggil-panggil orang.
Terus terang penulis sendiri tidak suka dengan cara-cara pengobatan ala UGB, maupun cara-cara dakwahnya, akan tetapi pendapat penulis bukan begini cara pengusutan praktik pengobatan UGB. Penyidikan, pemanggilan, pemeriksaan warga negara hanya boleh dilakukan oleh aparat negara yang ditetapkan oleh undang-undang, bukan oleh LSM begini.
Apa yang dilakukan MUI tersebut tak ubahnya "polisi syariat" atau lebih dari itu, rangkap tugas polisi, jaksa dan hakim sekaligus. Sekalipun konteksnya di sini soal syariah, halal-haram, akan tetapi tetap tak pada tempatnya sebuah LSM bisa melakukan pengusutan, penyidikan, pemeriksaan saksi-saksi, dan pemanggilan warga negara layaknya proses hukum projustitia.
Indonesia bukan negara agama. Tidak ada otoritas resmi atau otoritas tunggal agama Islam di Indonesia yang bertugas menentukan "hitam-putih" nasib syariat warga negara. MUI kedudukannya sama dan setara dengan Ormas atau LSM lainnya, seperti NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, IJABI, dll. Tidak ada satupun dari Ormas/LSM ini yang berwenang menetapkan "hitam-putih" nasib syariat umat atau warga negara, apalagi yang berimplikasi keperdataan atau ekonomi.
Jelas sekali tindakan MUI demikian dapat berimplikasi pada nasib keperdataan, hak privat, ekonomi atau ditutupnya praktik pengobatan seorang warga negara (UGB) akibat tekanan publik setelah langkah MUI tersebut.
Harusnya, kalaupun praktik pengobatan UGB dipandang merugikan dan meresahkan masyarakat, maka, dari sisi perdata, yang dirugikan saja yang berhak menuntut ganti rugi atau menggugat ke pengadilan. Tidak ada urusannya dengan MUI. Kecuali, MUI mendapat surat kuasa dari para pihak yang mendalilkan telah dirugikan tersebut.
Begitupun andai terjadi anasir perbuatan pidana, maka yang berwenang mengusutnya adalah aparat negara (penyidik PPNS atau polisi). Bukan MUI. Sementara itu, terkait izin-izin praktik adalah menjadi tugas pemerintah untuk mengusut dan menindaknya jika terjadi pelanggaran. Bahaya sekali jika hak ekonomi atau keperdataan seorang warga negara "divonis" nasib hidupnya oleh, aduh, sebuah LSM seperti MUI.
(Sutomo Paguci)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H