Tim Advokasi Jakarta Baru melayangkan gugatan perdata terhadap Joko Widodo karena dicapreskan oleh PDI Perjuangan, ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 19 Maret 2014. Gugatan ini dilakukan secara kelompok (class action) dimana perwakilan kelompok masyarakat DKI Jakarta adalah Komite Sentral Pemberdayaan Masyarakat Nelly Rosa Yulhiana dan Ade Dwi Kurnia dari Tim Advokasi Jakarta Baru.
Disebutkan, alasan gugatan ini karena Jokowi dianggap meninggalkan jabatan gubernur sebelum merealisasikan janji-janjinya untuk melaksanakan program kerakyatan. Sedangkan dalil hukum gugatan adalah perbuatan melawan hukum vide Pasal 1365 KUH Perdata. Bagaimana kans gugatan ini?
Pendapat penulis, jika benar motif politik gugatan ini berasal dari lawan-lawan politik Jokowi ataupun bukan dari lawan politik Jokowi, maka gugatan ini masuk pada titik dimana tidak mungkin lagi mundur. Jika gugatan dicabut akan dipersepsi sebagai keraguan atau pengakuan kebenaran pencapresan Jokowi. Jokowi malah diuntungkan.
Sebaliknya, jika gugatan diteruskan maka, tanpa bermaksud mendahului putusan hakim, kemungkinan besar gugatan ini akan ditolak hakim. Bila ini terjadi, maka legitimasi hukum dan politik pencapresan Jokowi akan semakin kokoh. Kembali Jokowi diuntungkan.
Mengapa dikatakan gugatan ini kemungkinan besar ditolak adalah karena secara hukum ngawurnya tidak ketulungan. Dalil "janji" yang disebutkan dalam gugatan konteksnya adalah politik, bukan keperdataan. Sementara dasar hukum gugatan malah perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum perdata, Pasal 1365 KUH Perdata. Enggak nyambung. Pasal 1365 KUHP Perdata konteksnya untuk tuntutan ganti rugi keperdataan yang diakibatkan perbuatan melawan hukum.
Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan begini: "Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut." Pasal ini konteksnya kerugian keperdataan yang berkonsekuensi penggantian kerugian berupa materi (uang dll.).
Jelaslah betapa fatal dasar hukum gugatan ini. Selain bahwa, momen gugatannya juga masih prematur. Jelas-jelas Jokowi belum meninggalkan jabatan gubernur atau belum mundur (sesuai dalil gugatan) tapi dikatakan sudah meninggalkan jabatan gubernur. Yang didalilkan belum terjadi.
Belum lagi para pihak yang digugat juga kurang. Dalam istilah hukum acara disebut "kurang pihak". Pasalnya, Jokowi bukan mencalonkan diri atau mencapres, melainkan dicalonkan atau dicapreskan. Jokowi melaksanakan perintah partai untuk tujuan kejayaan tanah air. Nah, kok yang merintahkan (Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri) tak terdengar ikutan digugat?!
Di atas semua itu, tidak ada hukum apapun yang dilanggar Jokowi gara-gara dicapreskan oleh PDI Perjuangan. Saya sudah baca-baca ketentuan UUD 1945, UU 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan perubahannya, dan UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Di keempat aturan hukum di atas sama sekali tak ada ketentuan yang melarang seorang gubernur dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai capres dan mengundurkan diri dari jabatannya. Tidak ada itu. Malahan disebutkan mekanisme izin jika seorang gubernur mencalonkan diri sebagai capres dan bagaimana mekanisme pengunduran diri seorang kepala daerah.
Ya iyalah. Pastilah aturan hukum tidak akan pernah melarang seorang warga negara mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai capres. Hal mana karena memilih dan dipilih merupakan hak konstitusi kewargaan setiap orang yang memenuhi kriteria hukum untuk itu.