Lihat ke Halaman Asli

Sutomo Paguci

TERVERIFIKASI

Advokat

Warga Kecam Pemogokan Panitera

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi /kompasiana (daily mail)

[caption id="" align="aligncenter" width="546" caption="Ilustrasi /kompasiana (daily mail)"][/caption] Rabu (16/4/2014) kemarin terhitung sudah 44 pengadilan di seluruh Indonesia yang paniteranya melancarkan mogok kerja karena menuntut kesejahteraan, termasuk di Pengadilan Agama Payakumbuh, Sumbar. Hari ini, Kamis (17/4/2014), bukan tak mungkin pemogokan terus meluas. Warga mempertanyakan, mengapa panitera memilih harus mogok?! Bukankah ada pilihan lain yang lebih elegan, yakni: salurkan aspirasi tuntutan kesejahteraan tersebut melalui asosiasi Ipaspi: Ikatan Panitera dan Sekretaris Pengadilan Indonesia. Jangan karena kepentingan pribadi korbankan publik pencari keadilan. Coba tanya ke hati kecil, ke hati nurani, sebagai kompas moralitas seorang manusia, apakah mendahulukan kepentingan pribadi seraya mengorbankan kepentingan publik dapat dibenarkan dari sudut pandang moralitas? Di atas hukum ada moral. Pemogok itu tak pantas jadi pelayan publik jika fokus hidup hanya duit, duit dan duit. Orientasi pribadi begini cocoknya jadi pengusaha mandiri, swasta. Silahkan mundur dari PNS lalu jadi pengusaha, bebas perjuangkan kesejahteraan pribadi. Pangkal soal mogok ini karena cemburu dengan tunjangan dan penghasilan hakim. Dahulu, saat tunjangan hakim belum naik-naik, para hakim yang cemburu dengan tunjangan dan penghasilan staf pengadilan. Sekarang, saat tunjangan hakim sudah naik berkali-kali lipat, giliran panitera yang cemburu. Benar-benar kacau. Aparatur sipil negara (ASN) seperti panitera tentu saja berbeda dengan karyawan swasta atau buruh pabrik yang punya hak mogok sesuai UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. ASN tak punya hak mogok demikian. Silahkan baca UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN, maupun aturan lama dalam UU No 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, sama sekali tak ditemukan hak mogok sebagai salah satu hak untuk meningkatkan kesejahteraan. Itu undang-undang khusus, lex specialis. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, sebagaimana dijamin oleh konstitusi UUD 1945 dan UU No 9 Tahun 1998, tidak identik atau sama persis dengan mogok kerja kalangan panitera yang mengancam kepentingan publik. Mogok kerja para ASN untuk kepentingan pribadi seraya korbankan kepentingan publik jelas dan tandas sudah kebablasan. Bayangkan. Berapa banyak publik warga pencari keadilan di seluruh Indonesia yang terancam kepentingan gara-gara mogok para panitera. Sebagai warga, pengacara, dan sekaligus pewarta warga, penulis juga mengecam keras pemogokan para panitera tersebut. Beberapa warga (klien) yang kepentingan hukumnya penulis perjuangkan, baik di pengadilan negeri maupun pengadilan agama, saat ini terancam serius. Coba, bahkan ada klien dari Papua, yang masa cutinya terbatas dan harus terbang ribuan kilo meter demi menghadiri sidang mediasi yang wajib dihadiri secara langsung, otomatis kepentingan hukumnya terancam gara-gara mogok panitera. Atas dasar rasional demikian, cukup alasan Mahkamah Agung untuk mengambil langkah tegas terhadap para panitera yang mogok tersebut. Kapan perlu MA adili dan beri sanksi administratif yang tegas dan keras. Jangan lembek. (Sutomo Paguci)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline