BAYANGKAN gebrakan pertama Jokowi-JK pasca pelantikan, yang sebelumnya telah disiapkan oleh Tim Transisi, salah satunya adalah ditandatanganinya instruksi presiden tentang penataan toleransi beragama di Indonesia.
Problema bangsa Indonesia bukan hanya menyangkut kesejahteraan rakyat sehingga perlu program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS), bukan hanya masalah korupsi, tetapi juga maraknya intoleransi beragama di banyak daerah di Indonesia.
Inpres penataan toleransi langsung menghunjam lalu mencabut akar masalahnya. Pertama, memerintahkan gubernur untuk mencabut peraturan gubernur (Pergub) terkait pelarangan ajaran/aktifitas Ahmadiyah di Indonesia dan melarang penerbitan pergub serupa di kemudian hari.
Ambil contoh Pergub Sumbar No 17 Tahun 2011 tentang Pelarangan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah di Sumatera Barat, yang ditandatangani oleh Gubernur Sumbar asal PKS Prof Dr Irwan Prayitno, Msc. Kemudian Pergub Jabar No 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat, yang ditandatangani oleh Gubernur Jabar juga asal PKS, Dr (HC) Ahmad Heryawan.
Pergub-pergub di atas dinilai melanggar HAM, bertentangan dengan Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 22 Ayat (2) UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM tegas menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Pada Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 menegaskan, bahwa hak beragama demikian tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Kedua, memerintahkan pencabutan Surat Keputusan Bersama ("SKB 3 Menteri") Menteri Agama No 3 Tahun 2008-Jaksa Agung No KEP-033/A/JA/6/2008-Menteri Dalam Negeri No 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat. SKB 3 Menteri ini pangkal bala intoleransi dan kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah di Indonesia.
Isi SKB 3 Menteri di atas mengandung 6 poin penting:
- Memberi peringatan dan perintah untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama;
- Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya, seperti pengakuan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW;
- Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut dan pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenai sanksi seusai peraturan perundang-undangan;
- Memberikan peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI;
- Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan dan perintah dapat dikenai sanksi perundangan yang berlaku;
- Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini.
SKB 3 Menteri tersebut dipandang bertentangan dengan semangat HAM kebebasan beragama yang dijamin UUD 1945, UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Lebih jauh lagi, presiden menginstruksikan kepada menteri terkait untuk merancang RUU Pencabutan UU No 1/PNPS/1965 dan pasal-pasal KUHP yang mengandung materi muatan pidana penyebar kebencian (haatzai artikelen) dan penodaan agama.
Semangat dari instruksi demikian adalah, negara dalam hal ini aparatur negara tidak dalam posisi secara sepihak menentukan sebuah agama sesat atau tidak (menyimpang atau tidak). Negara justru diarahkan tidak memihak dan menjamin kemerdekaan beragama sesuai konstitusi.
Ketiga, pada bagian lain dibuat pula klausula penegasan larangan kepala daerah untuk mengintervensi putusan-putusan pengadilan terkait kehidupan beragama di Indonesia. Berikut dengan sanksi sesuai hukum apabila melanggar.