Setelah berkendara kurang lebih 3 jam, akhirnya pukul 10 pagi di hari Kamis, 12 Oktober 2023, 10 motor dan 1 mobil sampai di Dusun Cipining Desa Argapura Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor. Posisi saya adalah guru fasililtor, menemani rombongan siswa-siswi SMA Islam Terpadu Al Madinah yang ingin mengeksplor Angklung Gugrag dan Goa Gundawang di daerah ini, berkaitan dengan Project Program Penguatan Profil Pelajar Pancasila bertema Kearifan Lokal.
Adalah seorang Bapak Karso, penggiat Angklung Gubrag, yang pertama kami hubungi untuk menelusuri jejak kearifan local di dusun Cipining. Dari beliau mengalir cerita sejarah mengapa angklung gubrag dapat dikatakan “berumah” di dusun Cipining. Selain keberadaan Angklung Gubrag pertama yang memiliki tinggi 2 meter, yang kini diletakkan di sebuah kamar di rumah salah satu turunan Ki Buyut Mukhtar (pembuat angklung pertama), makam Ki Buyut Mukhtar yang usianya sudah ratusan tahun, letaknya tidak terlalu jauh dari kediaman Bapak Karso. Keterkaitan Bapak Karso dalam silsilah keluarga Ki Buyut Mukhtar, adalah karena istri beliau merupakan turunan langsung dari Ki Buyut Mukhtar. Mertua beliau yang merupakan pimpinan Angklung Gubrag pada masa itu, melibatkan Pak Karso sebagai salah satu personilnya.
Mendatangi dusun ini dan menginap, kami berlatih di kediaman bapak H. Madali, pembuat Angklung Gubrag. Berbeda dengan angklung yang dipopulerkan di Saung Mang Ujo, Angklung Gubrag ini 1 setnya terdiri dari 6 angklung dan 2 dok-dok. Angklung Gubrag hanya memiliki 3 nada, yaitu da, mi dan la, yang terbagi dalam sebutan Clurung, Ganjring dan Engklok. Dimainkan secara berurutan diawal dan selanjutnya menjadi sahut-sahutan. Jadi angklung ini lebih bersifat ritmis dibandingkan melodis. Dok-Dok, semacam kendang kecil, berfungsi menjadi pengendali ritmik kapan music harus mulai dan kapan harus selesai. Ternyata berlatih Angklung Gubrag tidak semudah menyaksikannya, butuh “feel” untuk memadukan irama satu sama lain. Angklung Gubrag ini biasa dipentaskan di acara Serentaun, pernikahan, sunatan dan acara lain.
Selain belajar angklung, kami coba bersosialisasi dengan warga setempat, ikut main layangan dan main bola di sawah yang mengering. Ya, warga dusun Cipining sudah lama menanti datangnya hujan yang membuat kampung ini dilanda kekeringan. Kami pun memutuskan untuk mandi 1x untuk menghemat air. Dengan kondisi demikian, kami salut kepada Pak Karso yang juga kepala dusun Cipining, karena mau menerima rombongan kami yang berjumlah 21 orang. Beliau bahkan bersyukur dan berterima kasih atas kunjungan kami… Duh, jadi terharu, padahal kami merepotkan lho di sana.
Jumat pagi, setelah berlatih Angklung Gubrag, kami pamitan kepada seluruh pelatih, pak H. Madali dan tentunya Pak Karso. Setelah itu kami ke Goa Gudawang yang berjarak hanya 15 menit dari kediaman Bapak H. Madali.
Memasuki lokasi Goa Gudawang, yang merupakan Goa asli yang terbentuk ratusan tahun yang lalu, beberapa dari kami agak merasa deg-deg-an, selain ada yang belum pernah masuk goa ada perasaan “mistis” memasuki tempat ini. Di kawasan ini terdapat 3 Goa yaitu Goa Sipahang, Goa Simasigit dan Goa Simenteng. Pemandu mengajak kami mengunjungi Goa Sipahang lebih dulu, “yang paling jauh dulu ya”, katanya. Setelah itu ke Goa Simasigit dan terakhir baru ke Goa Simenteng. Goa Simasigit dan Goa Simenteng, di pintu masuknya berbentuk kepala harimau yang konon kabarnya merupakan lambang harimau yang bukan harimau biasa, yang menjaga kawasan ini dari dahulu hingga kini. Menelusuri ketiga goa ini, ternyata cukup memakan energi karena kondisi goa yang sempit dan dalam sehingga oksigen berkurang, ditambah lagi semakin dalam goa ditelusuri, terasa semakin gelap dan semakin pengap. Dengan menelusuri goa ini, kami jadi tau secara sesungguhnya apa yang disebut stalaktik dan stalagmit yang sering dibicarakan di pelajaran geografi.
"Sungguh pelajaran hidup yang tidak biasa dan bahkan belum pernah kami alami", kata Fajri, salah satu siswa yang ikut serta. Bagaimana tidak? jalan yang kita lalui, saat menuju kediaman Pak Karso amat sulit dan terjal jika dilalui dengan motor, belum lagi kamar mandi separuh badan yang masih terdapat di rumah-rumah di sana, "jadi kita harus jongkok kalau mau mandi tidak terlihat orang yang lewat", begitu yang disampaikan Bobby. "Belajar dari alam dan kehidupan orang lain, membuka wawasan kami sesungguhnya tentang arti kemandirian, kerjasama dan berempati pada sesama", disampaikan Zulfariani dengan bijak.
Sebagai salah satu guru dari sekolah penggerak, saya merasakan sekali dinamika projek satu sama lain yang memang kita buat beda design pelaksanaannya. Terutama dalam projek yang bertema kearifan lokal ini, tiap kelompok diminta "live in" untuk merasakan kehidupan penduduk lokal dari beberapa daerah yang terdapat di Kabupaten Bogor. Semoga apa yang dicita-citakan oleh Kurikulum Merdeka bisa tersampaikan dan bermanfaat bagi pengembangan karakter siswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H