Sabtu, 30 November 2024, Kompas Institute mengajak kita semua untuk belajar membaca sejarah Indonesia. Bertempat di markas besar KKG di Palmerah Selatan, Jakarta Pusat. Diundang tiga narasumber, Peter Carey, sejarahwan dan penulis, Etna Pattisina, jurnalis dan Aditya Kurniawan, seorang Komika.
Acara diskusi dibuka dengan "statement" bahwa pelajaran sejarah di sekolah adalah pelajaran yang membosankan, hanya menghafal tahun dan nama-nama tokoh.
Lalu moderator mulai mencecar Peter Carey dengan beberapa pertanyaan bernas. Peter adalah seorang asing yang memiliki ketertarikan dengan Pangeran Diponegoro.
Peter berkisah saat masih berstatus mahasiswa di Prancis, sangat berambisi menjadi mahasiswa ter baik, karena akan memperoleh bea siswa ke Cornell. Peter mengajukan topik tentang pulau Jawa, dengan Daendels sebagai ikon sejarah yang membangun jalan raya Anyer-Panarukan.
Namun dosennya mengarahkan pada seorang bangsawan Jawa yang rela bergabung dengan rakyat jelata untuk melawan Belanda. Tokoh itu adalah Pangeran Diponegoro.
Maka Peter pergi ke Jawa dengan kapal, dan banyak bertemu dengan aneka suku di Indonesia di kapal. Mendarat di Teluk Betung dan hampir meninggal dunia akibat usus buntu dan harus dioperasi di atas sungai Musi.
Setelah sembuh, Peter sempat ke Jogja yang saat itu masih dilingkari sawah. Juga melihat langsung penjara Pangeran Diponegoro di Makassar.
Di Makassar, Peter sempat menerima catatan Pangeran Diponegoro dari raja Gowa dan Peter membuktikan, bahwa sejarah banyak diputar balikkan oleh penguasa.
Menurutnya, saat Pangeran Diponegoro tinggal di pengasingan tidak tinggal di penjara bawah tanah, seperti yang banyak ditulis pada buku-buku sejarah. Karena Pangeran Diponegoro adalah seorang guru tasawuf. Yang menjadi panutan wong cilik terasosiasi dengan partai komunis atau sosialis, dan panutan agama terkait dengan PSI (Partai Syarikat Islam).
Apalagi Pangeran Diponegoro di bawah lindungan raja Gowa. Jadi, agak janggal bila disebutkan Pangeran Diponegoro tinggal di penjara bawah tanah.