Banda Aceh sebagai ibukota provinsi Daerah istimewa Nangroe Aceh Darussalam (NAD) telah lama dikenal sebagai kota seribu masjid.
Sebuah kota di Aceh Barat, Meulaboh, juga dikenal sebagai kota seribu warung kopi. Hal ini disebabkan banyaknya warung kopi tumbuh dengan subur disana. Bukan seperti warung kopi kekinian yang bertebaran di kota-kota di Jawa, melainkan warung kopi khas rakyat yang sederhana. Tempat duduk tidak menggunakan sofa, cukup kursi dari plastik. Tanpa pendingin ruangan, tapi menggunakan AC alam, tiupan angin dari pantai
Namun suasananya sangat guyub, bahkan orang Aceh mengatakan nyaman. Bahkan banyak masalah bisa diselesaikan di warung kopi. Pekerja juga acap kali mampir ke warung kopi di pagi hari sebelum berangkat kerja, dan muncullah ide-ide cerdas di warung kopi yang lalu dilaksanakan saat mulai bekerja. Saat jedah kerja, para pekerja juga kembali ke warung kopi, demikian pula sepulang kerja.
Itulah sebabnya warung kopi di Aceh selalu ramai, bahkan ada yang buka 24 jam.
Untuk mengulik tentang perkopian di Aceh, Koteka, komunitas traveler Kompasiana pada webinar Koteka Talk 203, megundang Ikhwanul Farissa, seorang Kompasianer yang berdomisili dan bekerja di Aceh.
Farissa yang baru saja mendapatkan pelatihan menjadi barista, orang yang mampu menyajikan kopi baik secara mesin dan manual dengan baik, sehingga membuat webinar ini menarik.
Kopi asli dari Aceh adalah kopi Gayo, dan yang banyak disukai orang adalah kopi robusta.
Kopi di Aceh disajikan dalam tiga pilihan, yakni kopi hitam / kopi tubruk, kopi susu, dan kopi sanger. Semuanya bisa disajikan panas atau dingin.
Yang disebut kopi sanger adalah kopi hitam yang disajikan bersama susu kental manis dan gula. Secara kasat mata, tampilannya hampir sama dengan kopi susu atau latte Namun takaran antara kopi hitam, susu kental manis dan gula harus tepat, sehingga tidak semua barista sanggup membuat kopi sanger.