Jenang bagi masyarakat Solo dan Jogja adalah identik dengan bubur. Kuliner ini berasal dari budaya sejak kerajaan Hindu, Budha, bahkan era Wali Songo.
Jenang adalah kuliner Jawa yang berbahan baku beras ketan, dan sering dihadirkan pada acara hajatan, dari mulai selamatan ibu hamil, bayi yang baru lahir, pernikahan, selamatan orang meninggal, acara adat, dan keagamaan.
Jenang memiliki simbol filosofis yang dipercaya sebagai ungkapan rasa syukur. Jenang disukai karena citarasanya yang enak, manis dan gurih.
Terdapat empat jenis jenang di gerai mbok Darmi yang setia melayani pelanggannya sejak 1998 bersama satu mitranya / keluarganya. Keduanya dengan sigap melayani permintaan santap di tempat (dine in) maupun untuk di bawa pulang (take away).
Tempatnya sederhana, di salah satu sudut pasar Beringharjo, Jogja. Bagi yang santap di tempat hanya duduk di atas kursi plastik di depan mbok Darmi.
Ke empat jenis jenang itu asalah jenang mutiara, jenang sumsum, jenang wajik, dan jenang biji nangka.
Jenang sumsum atau bubur sumsum yang lazim disebut jenang putih, terbuat dari beras ketan dan beras putih yang disantap bersama gula merah cair dan santan. Filosofinya sebagai simbol kebersihan hati. Biasanya disajikan bersama jenang merah atau jenang abang. Dan sering muncul pada upacara pada bulan Suro.
Mbok Darmi hanya menyediakan jenang sumsum saja, tanpa jenang merah, karena hanya untuk konsumsi bukan untuk acara adat.
Jenang kedua adalah jenang biji salak atau dikenal sebagai jenang candhil atau grendul. Terbuat dari tepung ketan dengan gula merah. Biasa disajikan berbentuk bulat seperti biji salak. Supaya tambah wangi dicampur dengan buah nangka. Disantap bersama santan dan gula merah cair Bila digigit terasa kenyal, jadi jangan kawatir akan sekeras biji salak sebenarnya.