Sudah menjadi rahasia umum, harga kebutuhan pokok maupun kebutuhan lainnya di kawasan wisata pasti lebih tinggi.
Biasanya warga beranggapan yang datang adalah wisatawan pasti orang berduit, apalagi wisatawan global.
Nah, sudahkah kita memperhatikan UMP / UMK (Upah Minimum Provinsi / Upah Minimum Kabupaten / Kota) di kawasan wisata di Indonesia? Bagaimana cara menghitung UMP / UMK ? Tampaknya perhitungan UMP / UMK lebih condong ke industri pabrikan,bukan daerah wisata. Padahal daerah wisata juga termasuk industri, meski bukan pabrikan.
Coba kita melihat UMK di Labuhan Bajo, NTT pada tahun 2024 besarnya Rp. 2.186.826,- untuk mudahnya kita bulatkan saja 2,2 juta Rupiah.
Kalau kita bandingkan dengan provinsi Bali yang sama-sama daerah wisata tahun 2024 adalah Rp. 2.813.672,- atau 2,8 juta Rupiah.
Bila kita bandingkan dengan kawasan wisata di pulau Jawa, misal Yogyakarta UMK sekitar 2,5 juta Rupiah. Kenapa UMP / UMK daerah wisata justru kecil ? Padahal kebutuhan hidup tinggi.
Kenapa harus berbeda 600 ribu Rupiah ? Padahal warga lokal Labuhan Bajo bila harus hidup di tanah kelahirannya, harus membelajakan uang hasil upahnya berdasar harga kawasan wisata.
Apakah warga lokal Labuhan Bajo tidak boleh menabung? Sehingga upah habis untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Akibatnya banyak warga lokal Labuhan Bajo yang terpaksa tidak membangun daerahnya, tetapi pergi merantau. Ke Bali misalnya yang UMP-nya lebih tinggi 600 ribu Rupiah, atau ke Jakarta yang lebih tinggi 2,8 juta Rupiah.
Memang beaya hidup di Jakarta lebih besar daripada Bali dan Labuhan Bajo. Tetapi seharusnya beaya hidup antara Bali dan Labuhan Bajo tidak berbeda terlalu jauh.
Sebagai ilustrasi sederhana, harga satu kotak mie cepat saji di Labuhan Bajo pasti lebih mahal daripada Bali, karena ada tambahan beaya transportasi.