Sudah pernahkah Anda blusukan ke Depok? Sebagai pecinta sejarah, sekiranya perlu mengeksplorasi Depok Lama.
Untuk mudahnya Anda dapat menggunakan commuter line jurusan ke Bogor dari Manggarai, turun di Depok, jangan Depok Baru ya.
Stasiun Depok ini dikenal sebagai stasiun Depok Lama. merupakan stasiun tertua dibangun tahun 1881. Berjalan kaki sekitar 120 meter, diantara lokasi penitipan sepeda motor, Anda akan tiba di Gereja Kristen Pasundan.
Apa keistimewaan gereja ini? Gereja ini berperan membangun masyarakat Kristen di Depok dan sekitarnya, bermula dari meng-Kristen -kan para budak, termasuk warga lokal (Sunda).
Awal mulanya berasal dari seorang saudagar kaya Belanda, Cornelis Chastelein membeli tanah di Depok, pada abad 18 Cornelis diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda menjadi penguasa dan pendiri Depok.
Sebagai penguasa Depok, Cornelis memberikan opsi kepada para budaknya. Yang mau setia padanya diajarkan bahasa Belanda dan memperoleh warisan berupa tanah, rumah, perkebunan, dan senjata. Sedangkan yang tidak mau setia, harus tinggal di luar Depok, seperti Pondok Cina, Citayam atau Bojong Gede.
Mungkin hal ini yang menimbulkan sebutan nyinyir / hinaan, "Belanda Depok". Sebaiknya istilah ini jangan dikatakan pada warga Depok, karena mereka akan tersinggung. Sama halnya bila di Amerika Serikat, jangan menyebut "Niger / Negro" pada warga kulit hitam.
Karena selain mencari rempah-rempah (berdagang), Cornelis juga memiliki misi memperluas agama Kristen di tempat tinggalnya, akibatnya pada masa itu terbangun sekitar 50 gereja.
Jadi psda jarak berdekatan, kita akan menjumpai gereja di Depok. Meski tidak sebanyak di Manado yang dikenal sebagai kota 1000 gereja, atau Banda Aceh dengan kota 1000 masjid atau Singkawang dengan kota 1000 klenteng.
Gereja Kristen Pasundan (GKP) bukan yang tertua, diresmikan pada September 1953, menurut penjelasan pengurus GKP, Hendra, meski menurut data di Wikipedia resmi diresmikan November 1934. gereja ini bermula sebuah ruangan kosong bekas klinik yang dirapikan agar pantas digunakan sebagai tempat berbadah. Pada mulanya ibadah menggunakan bahasa Sunda, karena gereja Immanuel menggunakan bahasa Belanda, yang tidak dipahami warga lokal.
GKP tidak dapat ditetapkan menjadi cagar budaya, karena sudah direnovasi tiga kali dengan tidak mempertahankan bentuk aslinya.