Baru-baru ini dunia literasi gempar, karena tiba-tiba permintaan ISBN (International Standard Book Number) menjadi sulit. Banyak percetakan yang biasanya mudah memperoleh ISBN, sekarang menjadi sulit.
Maka muncullah istilah krisis ISBN dalam dunia literasi. Lembaga yang mengurusi ISBN secara international berpusat di London. iSBN adalah kode 13 digit yang dijadikan identifikasi sebuah buku. Jadi seharusnya buku yang sudah mendapatkan ISBN sudah terjamin mutunya dan bukan hasil plagiat.
Beberapa tahun sebelum pemberian ISBN dipersulit, banyak muncul percetakan dengan promosi cetak buku gratis ber ISBN. Percetakan ini asal memintakan ISBN ke badan pengelola ISBN di Indonesia, setelah diterima, lalu langsung mencetaknya. Tanpa melakukan penyuntingan baik Isi maupun kualitas tulisan sebelumnya. Bahkan banyak buku yang dihasilkan dari hasil tantangan menulis selama satu bulan, tanpa tema yang jelas dan tujuan / manfaat penulisan itu. Yang peting ada tulisan bahkan jumlah penerbitan buku dalam satu bulan dijadikan target pencapaian. penerbitan, itulah sebabnya tanpa dilakukan penyuntingan. Inilah yang akhirnya membuat penggunaan ISBN menjadi seakan gampangan. Karena penerbit tidak pernah melakukan seleksi akan kualitas sebuah buku yang akan diterbitkan. Paling tidak, seharusnya ada pemeriksaan akan keaslian tulisan.
Hal ini tentunya yang sangat disayangkan, karena akhirnya badan pengelola ISBN terpaksa harus nempersulit pengeluaran ISBN. Mungkin banyak buku ber ISBN yang ditulis dari hasil plagiat, sehingga kini salah satu syarat permohonan ISBN adalah harus melampirkan surat pernyatasn yang ditanda tangani penulis diatas materai, bahwa buku yang ditulis bukanlah hasil plagiat. Tentunya hal ini akan menjadi masalah baru bagi penerbitan buku antologi.
Kini penulis jujur ikut menjadi korban, karena ikut mengalami krisis ISBN. Bersamaan dengan terjadinya krisis ISBN, saya mendapat informasi bila mau cepat menerbitkan buku, tak perlu meminta ISBN, cukup pakai QRCBN (QR Code Book Number). Mahluk apalagi ini?
Menurut penjelasan salah satu penerbit, sehubingan sulitnya mendapatkan ISBN, maka sebagai gantinya kini dipakai identifikasi berupa QRCBN. Identifikasi ini diperoleh cukup melalui situs yang mengeluarkan QR Code untuk memberikan identifikasi pada sebuah buku.
Bila dicermati, masalah ISBN di masa lalu, pasti akan muncul lagi bila pemberian QRCBN ini asal diberikan tanpa adanya seleksi Kualitas tulisan dan keaslian tulisan akan sulit didapat, tanpa adanya suatu seleksi dan penyuntingan.
Jadi, menurut pendapat saya QRCBN bukanlah solusi untuk mengatasi krisis ISBN. Tetaplah mengacu pada ISBN agar menjadi standar mutu sebuah buku. Tak perlu ada lembaga alternatif yang akan menimbulkan dualisme. Bisa saja nanti seorang petualang menjiplak sebuah buku ber ISBN lalu didaftarkan dengan QRCBN dan dicetaklah buku hasil plagiat itu dengan mudah. Karena dua lembaga akan sangat sulit melakukan identifikasi keaslian sebuah buku.
Bagaimana menurut Anda para penggiat literasi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H