Saat teman saya dari Sydney, Australia bertemu saya di Jakarta, tepatnya di kawasan Puri Indah, Jakarta Barat, bukan keluhan kebersihan makanan di Jakarta, melainkan dia merindukan langit biru Sydney. Karena yang dia lihat saat makan pagi di hotel, baik di Tangerang maupun di Jakarta langit biru tiada lagi, digantikan langit yang berwarna abu-abu karena asap polusi.
Seorang teman yang berkantor di Jakarta Selatan juga mengirimkan pesan singkat ke saya : "Saat pandemi mendera dunia, dari Jakarta Selatan terlihat gunung, kini tak terlihat lagi, bahkan gedung-gedung pun tak tampak, semua tertutup kabut gelap "
Dua komentar teman saya ini ditambah berita-berita di media yang menginformasikan bahwa polusi udara di Jabodetabek, telah membahayakan manusia. Bahkan Tangerang Selatan yang dua tahun lalu (2021) menduduki urutan kedua, kini diberitakan sudah menjadi jawaranya.
Polusi udara dinyatakan berbahaya, saat udara bersih tidak memadai. Akibatnya lingkungan dan produk tercemar, suhu udara makin terasa panas dan udara berada pada aras kelembaban yang tidak normal.
Tanpa disadari, kita yang tinggal dan hidup di Jabodetabek mengalami ketidakseimbangan lingkungan atau berada pada ekosiatem yang rusak. Karena pencemaran udara akan merubah kondisi lingkungan yang semula wajar menjadi tidak wajar Kerusakan lingkungan ini akan mengganggu tatanan kehidupan manusia dan juga flora dan fauna yang tinggal pada lingkungan tersebut.
Akibat paling ringan bagi manusia adalah terganggunya pernapasan, sehingga menimbulkan gejala ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), asma, jantung, tekanan darah tinggi, hingga yang terberat, kanker paru-paru dan kanker reproduksi. Hal ini bila berlangsung lama, akan berakibat menurunnya kadar oksogen di dalam tubuh manusia.
Penyebab polusi udara diduga berasal dari:
1. Emisi gas buang kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil, terlebih situasi lalu lintas yang macet.
2. Industri yang menggunakan bahan bakar batubara atau fosil.
3. Kurangnya kesadaran warga yang masih mencuri-curi melakukan pembakaran sampah rumah tangga.
Adapun upaya yang dapat dilakukan guna mengurangi pencemaran udara atau polusi udara adalah:
1. Mengurangi aktivitas warga di luar rumah, salah satunya dengan menerapkan aktifitas Work From Hone (WFH) bagi karyawan swasta maupun Pegawai Negeri Sipil.
2. Mengurangi penggunaan kendaraan dinas maupun kendaraan pribadi, dan mengharuakan menggunakan transportasi umum.
3. Bagi yang rumahnya dekat dengan tempat kerja, diwajibkan berjalan kaki atau bersepeda (bike to work).
4. Memeriksa emisi gas buang kendaraan bermotor, yang masih menggunakan bahan bakar fosil.
5. Melakukan larangan beroperasinya kendaraan bermotor berbahan bakar fosil dan mewajibkan menggunakan kendaraan bermotor dengan enerji listrik. Hal ini sudah diuji coba di kawasan TMII, Jakarta Timur dan sudah berhasil mengurangi polusi udara.
6. Melakukan pengukuran kadar gas buang pada cerobong industri. Bila diluar ambang batas harus memasang alat penyaring udara atau dilarang dioperasikan.
7. Memberikan hukuman yang menimbulkan efek jera, bagi warga yang tertangkap tangan melakukan pembakaran sampah, termasuk sampah plastik dan atau limbah alat elektronik (e-waste).
8. Menggalakkan program bank sampah dan melakukan pelatihan daur ulang sampah organik.
9. Kurangi kebiasaan merokok dan atau membatasi area untuk merokok.
10. Menggalakkan penggunaan produk yang ramah lingkungan.
11. Meningkatkan program penghijauan atau penanaman pohon. Diharapkan menjadi CSR bagi perusahaaan-perusahaan besar.
12. Mengawasi dengan ketat agar tidak terjadi kebakaran pada hutan kota atau taman-taman kota.
13. Menghidupkan kembali program Langit Biru dari KLHK.
Semoga dengan sejumlah usulan upaya penanggulangan pencemaran udara, udara Jabodetabek dapat kembali bersih dan kita dapat menikmati langit biru lagi Sehingga tamu dari Australia tidak perlu merindukan lagi langit biru saat bertandang ke Jabodetabek.