Menjelang perayaan Tahun Baru Imlek, saya teringat beberapa peristiwa yang saya saksikan dilakukan oleh tetangga sebelah rumah menjelang Imlek. Peristiwa ini tidak terjadi dalam keluarga saya, karena kebetulan keluarga saya mendapat pendidikan Belanda.
Karena saya dilahirkan di Jawa Tengah terjadilah akulturasi budaya antara orang keturunan Tionghoa dan budaya Jawa, Tetangga saya seorang nenek masih rutin melakukan upacara sembahyangan ala Tionghoa pada umumnya ditambah unsur Kejawen.
Saat Imlek sang nenek menggelar upacara sembahyangan di meja sembahyangan atau yang lazim disebut sebagai altar sembahyang, dengan sajian buah-buahan, manisan dan aneka masakan, tidak lupa tentunya susunan kue keranjang. Ada tiga tujuan dalam upacara sembahyang ini, yakni kepada Tuhan (Thian), Leluhur dan Dewa-dewi. Masakannya saya lihat berbeda dengan tetangga depan rumah yang sering disebut Tionghoa totok, mereka selalu menyediakan babi samcan rebus.
Sang nenek memasak beberapa makanan seperti sambal goreng putih telor, cah rebung (mirip isi lunpia Semarang), nasi goreng selang seling dengan nasi liwet Solo, sop daging gulung dan lain-lain. Justru masakannya semua halal dan sudah berasimilasi dengan kuliner lokal.
Setelah upacara sembahyangan selesai, keluarga kami selalu dikirimi masakan yang sudah disembahyangi itu dalam rantang susun. Bagi keluarga saya, tidak ada pantangan menyantap masakan tersebut. Meskipun saya dengar ada keluarga yang tidak bersedia menyantap makanan yang telah disembahyangi.
Tetangga depan rumah juga selalu memberikan bingkisan Imlek yang khas, berupa masakan berbahan babi. Kuliner yang ini jelas tergolong non halal.
Percampuran budaya Jawa pada tetangga sebelah rumah, tampak pula pada setiap hari Kamis sore dan Senin sore pada hari pasaran tertentu. Pagi harinya sang nenek berpuasa, dan membakar kemenyan di rumahnya, asap kemenyan memenuhi seluruh ruangan rumahnya. Wangi. Bahkan sumur di rumah tersebut juga mendapat jatah kembang tiga rupa: mawar, melati, dan kenanga.
Setiap malam bulan Suro, sang nenek memandikan keris warisan suaminya (almarhum) yang diperoleh dari pemberian salah seorang keluarga kraton Solo. Keris dikalungi untaian melati, lalu dipajang di dipan ranjang sang nenek yang masih memakai kelambu.
Sekarang sang nenek sudah meninggal, dan meja sembahyang masih ada, disimpan salah satu keluarganya yang rumahnya besar. Yang memiliki ruangan untuk menampung meja sembahyang tersebut.
Keris juga masih disimpan keluarga yang lain. Tidak dibakar, masih dirawat dan dipelihara sebagai benda memorabilia sekaligus keramat.
Satu hal lain yang saya saksikan, sang nenek juga sering memberi kaos setiap paska Imlek atau Sincia kepada anak-anaknya. Konon kabarnya sudah dilakukan upacara cisuak, artinya menangkal kalau shio anaknya sedang "jiong" atau bermusuhan dengan shio pada tahun berjalan.