Mumpung dalam suasana bulan bahasa, dimana bangsa Indonesia sepakat untuk menggunakan satu bahasa yakni bahasa Indonesia. Apakah Anda menyadari bahwa Anda sering menggunakan bahasa gado-gado, seperti kecenderungan menyelipkan kosa kata asing dalam tulisan atau ucapan, kadang karena Anda merasa bangga, merasa lebih pintar, merasa 'prestigious', eh, bergengsi. Tapi apakah benar, sikap menggunakan bahasa gado-gado itu bukan tindakan pintar ?
Kenapa Anda memilih menggunakan 'fokus' daripada 'memusatkan perhatian'? Mengapa 'mengoreksi' kalau ada kata 'memperbaiki'? Kenapa menuliskan 'on the way', bila bisa memilih kata 'dalam perjalanan'? Sebaiknya kita konsisten, bila mau menggunakan bahasa Inggris, ya gunakan bahasa Inggris seutuhnya, jangan dicampur aduk. Namun kalau mau berbahasa Indonesia, berbahasa-Indonesialah yang baik dan benar. Siapa lagi yang akan menjaga bahasa kita, kalau bukan kita sendiri?
Sering kali tanpa sadar di rumahpun atau dalam kancah pergaulan sesama komunitas, kita cenderung berbahasa gado-gado - Inggris campur Indonesia - saat berkomunikasi, dan bercakap-cakap; bahkan kadang bahasa Jawa,Belanda dan Mandarin, serta Hokkian ikut bermunculan Misalnya, "I don't think I want to go there. Lha wis nggone sumuk, rakno AC. Padahal sewane larang, gopek jeng semalam..."
Kini banyak keluarga muda, hampir di semua tempat, mall, pertokoan, restoran, rumah makan, café, hotel, penginapan, kita melihat anak-anak kecil lancar berceloteh ria dalam bahasa Inggris, yang kadang masih di latar belakangi akses bahasa daerah setempat. Selain berbahasa asing, orangtua merasa bangga bila mampu menaikkan standar hidupnya.
Mereka berpendapat bila si anak sudah lancar berbahasa Inggris, perayaan ulang tahunnya harus di resto Western, bukan di rumah makan ayam goring Desa masuk Kota, hidangan penutupnya harus pudding atau ice cream, bukan ubi rebus atau pisang goreng, goodie-bagnya berujud boneka Barbie, bukan gerabah Yogya, sepatunya harus ber merek buatan manca negara, bukan produksi sepatu dalam negeri, bajunya harus ber-merek, bukan batik Cirebon, dan seabrek gaya hidup baru yang dipaksa masuk ke dalam kehidupan keluarga Indonesia.
Selama ini saya berbahasa Inggris bukan untuk gengsi-gengsian, tapi karena menyadari pentingnya bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan dan pendidikan. Saya berbahasa Inggris bukan untuk gagah-gagahan, tapi untuk menjaga kemampuan bahasa Inggris yang saya peroleh saat kuliah dulu agar tidak hilang. Saya mengadopsi bahasa, bukan mengganti gaya hidup. Saya masih suka soto dan pecel, meski saya juga suka pizza dan spaghetti . Saya suka musik klangenan dan gamelan, meski saya tidak menolak jazz dan hiphop. Saya menikmati keindahan Candi Borobudur dan Raja Ampat, namun saya juga perlu mengunjungi Las Vegas di Amerika. Bagi saya, bahasa adalah sebuah kekayaan, bukan kerendah dirian. Tiap bahasa punya keunggulan. Kita tak perlu merasa rendah; tapi kita juga tak perlu merendahkan.
Jadi, dalam semangat bulan bahasa ini, gunakan bahasa pada tempatnya. Gunakan bahasa Indonesia pada forum yang tepat dan bahasa komunikasi sehari-sehari. Gunakan bahasa Inggris atau Mandarin pada forum dimana komunitas mayorita menggunakan bahasa tersebut. Mempelajari dan memahami bahasa asing justru menjadi nilai tambah bagi Anda di era globalisasi ini.
Selamat Hari Sumpah Pemuda ke-88 !!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H