Lihat ke Halaman Asli

Tegak di Antara Puing-Puing (24)

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1428337288984585240

Begitulah, Landung dan teman-temannya pun akhirnya membantu Kusno dan Slamet, tetangga mereka yang rumahnya selamat, menurunkan genting dan menatanya di pinggir dinding rumah sebelah barat. Genting yang pecah atau hancur dikumpulkan di pojok halaman. Mereka belum tahu apa yang akan dilakukan dengan puing-puing genting ini. Apa pun, untuk memperbaiki atap, semua genting itu harus diturunkan, yang utuh maupun yang pecah.

Pekerjaan itu selesai sekitar jam satu siang. Lalu mereka bersama-sama makan siang di teritisan, dinaungi rindangnya pohon mangga dan rambutan di halaman itu. Mereka makan dengan nikmatnya. Nenek Landung telah masak makanan yang enak bagi mereka. Nasi putih, ditemani sayur lodeh, sambal tomat  dan tempe goreng.

Hari itu, nenek Landung sengaja tidak menggunakan bawang putih dan bawang merah pada masakannya. Ia tahu bahwa Landung dan teman-temannya vegetarian. Mereka tidak makan daging, telur, ikan, jamur, bawang putih, dan bawang merah. Landung merasa tidak enak sebenarnya. Demi mereka, neneknya jadi repot-repot memasak secara khusus, tanpa bumbu-bumbu andalannya. Tetapi nampaknya, masakan dengan bumbu khusus itu tidak mengganggu kakek Landung, Kusno dan Slamet yang tidak vegetarian. Mereka tetap makan dengan lahapnya. Lapar dan capek memang bumbu yang paling lezat bagi setiap masakan.

Usai makan dan beristirahat sebentar, akhirnya Landung dan teman-temannya berpamitan, hendak kembali ke Jogja. Kakek dan nenek Landung ingin menahan mereka lebih lama sebenarnya, tetapi anak-anak muda itu ingin tiba di Jogja sebelum sore. Akhirnya berangkatlah mereka diiringi lambaian tangan kakek dan nenek Landung, Kusno dan Slamet.

Mereka tiba di rumah Landung sekitar jam tiga siang. Made mengusulkan untuk menengok seorang temannya yang rumahnya juga rusak dihantam gempa. Zafri, temannya itu tinggal di Banguntapan, sebuah desa di sebelah tenggara kota Jogja, yang dibelah oleh jalan raya menuju Pleret. Mereka pun sepakat untuk berangkat ke rumah Zafri sekitar jam lima sore. Mereka berpatungan untuk membeli bahan-bahan makanan sekedarnya untuk Zafri.

(bersambung)

Cerita ini fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, hanyalah kebetulan belaka dan bukan merupakan kesengajaan.

© Sutan Hartanto

Hak cipta dilindungi undang-undang. All Rights Reserved

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline