Lihat ke Halaman Asli

Tegak di Antara Puing-Puing (18)

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1428337288984585240

"Tadi siang kami terjebak di Jalan Monjali," cerita Pak Jito petang harinya, di teras rumah Darma.

Teras itu memang nyaman untuk bersantai, melepas lelah setelah seharian bekerja. Diterangi lampu teras yang tidak seberapa terang, Darma, ibu dan Pak Jito bisa menikmati asrinya halaman rumah yang teduh di bawah naungan pohon mangga dan murbei. Berkat tangan terampil dan tekun Tiur, halaman yang tidak seberapa luas itu menjelma menjadi taman kecil, dihiasi berbagai macam anggrek, puring, adenium, gelombang cinta (yang sekarang tidak lagi mahal harganya). Tidak hanya tanaman hias, Tiur juga menanam salam, cabai, tomat, dan seledri.

Ya, hari itu semua lelah, meski tak seorang pun benar-benar bekerja seperti biasanya. Seluruh wilayah Bantul, sebagian wilayah Gunungkidul, Jogjakarta dan Sleman nyaris lumpuh aktivitas ekonominya. Banyak kantor, sekolah, toko dan pabrik memilih tutup dan meliburkan karyawan atau muridnya.

"Gara-gara isu tsunami, kami jadi panik dan memutuskan untuk mengungsi, "lanjut Pak Jito. "Naik motor, aku membonceng Girsang di depan. Dia diikat ke pinggangku dengan selendang biar tidak jatuh. Ibu berboncengan dengan Vira. Sampai di Jalan Monjali, kami mengarah ke utara, maunya ke arah Gunung Merapi, mencari tempat yang tinggi. Jalan sudah berjejalan dengan motor dan mobil yang juga mau naik ke utara. Kami tambah panik saat beredar kabar bahwa Malioboro sudah tersapu habis, dan air sudah sampai di Tugu. Ternyata, sampai di perempatan ringroad, dekat Monumen Jogja Kembali, kami berhadapan dengan arus  ratusan motor dan mobil yang datang seperti air bah. Mereka juga sedang panik, mau menjauhi Merapi karena mengira bahwa gempa pagi tadi karena gunung itu bergolak dan sedang mempersiapkan letusan besar."

Sejenak Pak Jito menghentikan ceritanya. Darma mengangguk-angguk, membayangkan kacaunya lalulintas dan paniknya orang-orang saat itu. "Terus?"

"Ya sudah, kami pun berbalik, dengan susah payah. Untung kami berhasil naik dan menyusuri trotoar, kembali ke selatan. Tapi dengan lewat trotoar bukan berarti perjalanan kami jadi lancar dan mulus. Trotoar dipadati orang-orang yang mau mengungsi juga. Kami harus menyelip-nyelip di antara jejalan orang-orang itu. Aku hampir menabrak Mbah Dono, yang lari tertatih-tatih dituntun anaknya. Untung aku berhasil menghindar."

Pak Jito berhenti sejenak, menerawangkan pandangannya ke kejauhan, seolah membayangkan riuhnya peristiwa pagi tadi. "Kasihan orang tua itu. Sudah tua, kurus, sakit-sakitan dan hampir tidak pernah turun dari tempat tidurnya, sekarang dipaksa berlari-lari di trotoar begitu."

(bersambung)

Cerita ini fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, hanyalah kebetulan belaka dan bukan merupakan kesengajaan.

© Sutan Hartanto

Hak cipta dilindungi undang-undang. All Rights Reserved

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline