Pada tahun 60-an atau di bawah tahun itu apabila ada seseorang yang pergi haji maka ia akan sangat dikagumi sekembalinya dari Tanah Suci. Bukan saja saja karena lamanya mereka mengarungi laut kala itu, namun karena begitu bermaknanya pergi haji setelah seseorang mengumpulkanhartanya sejak muda dan pergi di kala usia mulai separuh baya atau menjelang tua. Jadi, pergi haji begitu sesuatu sekali dan membuat orang menjadi seseorang yang disegani akan dijadikan panutan atau ukuran di tengah masyarakat sekitar ia tinggal.
Kondisi di atas sulit sekali ditemui sekarang ini. Dimana saat ini meski lebih dari sekali pergi haji kadang tidak merubah watak seseorang. Yang suka pamer kemampuan finansial, seakan mendapat kesempatan membuktikannya lewat paket Umrah atau Haji Plus. Yang kikir, tetap saja kikir meski telah bergelar haji. Yang pengumpat tetap saja menjadi pengumpat setelah menunaikan ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima. Seakan, masuknya beras ke dalam rice cooker namun yang keluar ternyata beras juga, bukan lagi berupa nasi.
Inilah yang menjadi tantangan kami bagaimana mengarahkan agar umat Islam yang menunaikan ibadah haji dan umrah. Pembekalan manasik yang minim tidak menjadi halangan bagi kami untuk memberikan pembekalan yang memadai kepada jamaah agar pengertian melaksanakan rukun Islam kelima ibadah Haji dapat terserap lebih banyak lagi. Target kami adalah, bagaimana ibadah haji dan umrah dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan jamaah melalui layanan kami yang prima.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H