Matahari terbit lebih cepat di Bali ketimbang di Jakarta. Buktinya, pukul 3.30 sudah subuh di sini. Terminal Ubung menjadi saksi atas kedatangan SP sebagai kompasianer Jakarta yang pertama datang di Blogshop Bali dengan tema Learning by Blogging, Sabtu (19/11). Bukan itu saja, SP sebagai peserta buncit yang paling dulu datang bila dilihat dari urutan konfirmasi peserta yang hanya 42 orang sampai Jumat(18/11). [caption id="attachment_143225" align="aligncenter" width="240" caption="Di depan bus kecil Gilimanuk-Denpasar,Terminal Ubung"][/caption] Seperti biasa, begitu ramai tawaran datang,”Pak, kemana pak? Kuta, Sanur atau Legian?” Aneka suara dari banyak orang menyeruak kedatangan kami di Terminal Ubung, Denpasar. Mereka tertib menawarkan tanpa menarik-narik tangan calon penumpang yang habis turun dari Bus PO AKAS, trayek Jember-Denpasar. Luar biasa, indahnya Bali. Dalam gelap pun terasa indahnya Bali, sejak bus yang SP tumpangi beranjak dari Pelabuhan Gilimanuk dan melewati jalan berliku dimana kiri kanan jalan ditumbuhi hutan kebun. Masyarakat Bali nampaknya bijak dalam menjaga alam, sehingga jalan awet dan jarang terdengar longsor sebagaimana terjadi di Jawa. Yang lebih unik, adalah orang Bali, sangat “taat” dalam menyajikan sesajen kembang di depan rumah, bangunan atau usahanya. Tidak terkecuali, di Seminyak Square, hampir tiap sudut tempat usaha seperti cafe, birojasa,dan lainnya di depan pintu masuknya pasti ada sekeranjang kecil anek sesajian berupa kembang aneka warna, dominan putih dan merah, serta hijau. Orang Bali melakukan doa sebelum sesuatu usaha, dan itu terlihat dari bentuk sesajen yang ditampakkan kasat mata. Bahkan di dalam angkot pun terletak sesajen di dash board-nya. Anda semua ini dipahami sebaga proses spritual, hendaknya juga berlaku pada jasa-jasa yang ditawarkan. Termasuk, saat SP hendak menuju Seminyak: Saat berdiri di depan jalan raya depan Terminal Ubung, sebuah angkot berhenti dan sopirnya menawarkan jasa angkutan,” Mau kemana, Pak?” “Ke Seminyak!” Jawabku sekenanya, “Lewatkah?” “Ayolah, naik saja!” Sopir meyakinkanku, bahwa Seminyak Square akan dilewati. Di dalam angkot ada 3 orang penumpang lainnya. Yang satu, agak kumel SP tanya,”Dari mana sampean?” “Jember!” Hmm, hebat. “Orang Jember adalah pekerja keras!” Sambil memberikan jempol tangan kanan kepada anak muda yang setengah teler itu. Bisa jadi, pemuda ini sangat super ngantuk. Angkot melaju terus. Namun, begitu tiba melewati Hotel Taman Suci, tiba-tiba saja sang sopier berkata, “Pak, kalau mau ke Seminyak Square, ongkos Rp.40.000 ya?” SP heran. “Uff, jangan gitu dung, kan Seminyak Square sebelum Kuta?” Protes SP sok paham lapangan. “Jauh, Pak. Kalau mau segitu, saya antar, kalau nggak ya cukup sampai Simpang Tegal saja.” Sang sopir coba menjelaskan. “Ya, sudah di Simpang Tegal saja!” Jawab SP tegas. Dengan cepat ia membayar ongkos yang diminta sopir, yaitu Rp.6.000,- harga yang di Bogor, Jakarta dan Bekasi cuma Rp.3.000,- Hmm, matahari lebih cepat terbit di Bali, dan harga angkot lebih cepat naik di Bali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H