Lihat ke Halaman Asli

Sutan Pangeran

Bersahabat

Nikah Muda (Lanjutan ke-3)

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sejak sering datang ke rumah Pram, aku jadi akrab dengan Yeyen. Anak kelas 3 SMP ini cukup cepat cara berpikirnya. Mungkin karena sang pacar sudah kuliah. Namun, karena ketemu denganku di Bimbingan Menulis ala Mas Wendo beralih suka denganku. Setidaknya demikian pendapat Wati, teman sekelasnya di SMP. Aku yang sudah kelas 3 SMA tidak tahu itu, cuma begitu bisi Wati, saat kulalui rumahnya menjelang sampai ke rumahku di Palmerah.

“Bang Suta, Yeyen kan seneng banget sama abang.”Demikian adu Wati saat itu.

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Demikian banyak perempuan yang suka padaku. Namun, hanya seorang yang menggoda dan menawan. Ya, hanya Arien. Perempuan yang kusuka dan sekaligus sanggup menolak curahan hatiku saat kukirim ia surat tanda sukaku.

He he he. Ternyata tidak semua perempuan yang kusuka, kumaui, dan tidak semua yang kumaui menjadi suka. Aku jadi geli sendiri.

Yeyen yang berkacamata ini adalah putri dari seorang wartawan senior di koran Berita Dunia, sebuah koran sore waktu itu. Sebelum, pergi jalan-jalan kusempatkan untuk datang ke rumah Yeyen di Tomang. Lelaki dengan wawasan luas itu banyak bercakap-cakap soal remaja dan sedikit politik. Nah, begitu menukik ke masalah sastra, maka ia puji aku yang menyukai karya-karya Pram. Namun, ia ingatkan agar hati-hati dalam berhubungan dengan Pram ke rumahnya. Sebab, lelaki tahanan politik itu baru saja dibebaskan 2 tahunan lalu.

“Kamu masih muda. Sebentar lagi April 1982 akan menghadapi Pemilu dan EBTANAS, apa yang sudah kamu siapkan?” Pertanyaan Pak Hasan menyentakku.

“Menjadi sahabat Pram itu ibarat kamu memakai sandal yang ditengahnya masih ada duri atau paku yang menancap. Bila tidak hati-hati, nanti dianggap sebagai kader muda-nya, maka masa depanmu akan diukur. Kemana kamu pergi akan dibuntututi intel.” Pak Hasan seakan ingin membuatku jera untuk datang ke rumah Pram.

“Baiklah, Pak!” Kujawab seadanya. Sungguh aku dongkol ditekan dengan dogma soal politik orang dewasa saat itu. Yang kutahu,sastraadalah bebas dari urusan politik.

Terus terang, karena ucapan Pak Hasan, aku jadi was-was juga. Kemana-mana aku jadi merasa diawasi seseorang. Dan ini kurasakan selama perjalanan 7 hari Jakarta – Banyuwangi, yang kemudian juga kurasakan saat berlibur di Bali bersama 8 orang kawan-kawan yang lain.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline