[caption id="attachment_110743" align="alignleft" width="98" caption="Rakyat miskin: sudah dimiskinkan, dibodohi, eh eh disakitin lagi dengan penyakit yang disuap ke mulut rakyat miskin, kecil, eh masih idup lagi!"][/caption] SP perlu mengangkat isu iklan rokok agar tidak menjadi simpang siur.Masalahnya, kompasiana besar karena penulisnya, bukan karena Adminnya yang biasa mengaminkan apa saja yang masuk sebagai sponsor pembuat iklan. Apakah ada situs kecil yang dilirik oleh perusahaan rokok? Lihat saja rakyatmikronews.com salah satu bukti nyata. Sekitar awal Mei ini Kemenkes melalui Staf Khusus bidang Politik, Bambang Sulistomo, mengundang SP dalam rangka sosialisasi RPP Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Dimana dasar pertimbangan RPP tersebut adalah mengacu pada ketentuan Pasal 116 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sehingga perlu menerapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Termbakau Bagi Kesehatan. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, pengamanan zat adiktif yang diatur dalam Pasal 113 sampai dengan Pasal 116 dan Pasal 199 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan . Dalam Pasal 113 ayat (2) Undang-undangn Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dinyatakan bahwa produk tembakau merupakan zat adiktif. Mengonsumsi produk tembakau terutama rokoko menjadi masalah tersendiri karena di dalam zat adiktif itu mengandung lebih 4000 (empat ribu) zat kimia antara lain nikotin yang berisfat adiktif, tar yang bersifat karsinogenik. Dampak negatifnya adalah kanker paru-paru yang menyebabkan kematian nomor 1 dunia. Selain itu serangan jantung, impotensi, penyakit darah, enfisema,stroke dan gangguan kehamilan dan janin yang sebenarnya bisa dicegah. Menurut Bambang, pemerintah berkepentingan dalam menanggulangi masalah rokok ini. Karena ternyata cukai yang diterima oleh pemerintah hanyalah sepertiga dari anggaran yang disiapkan pemerintah untuk menanggulangi penyakit akibat rokok. Jadi, bila cukai yang didapat sesuai yang disetujui DPR dan berlaku sejak Semester 2011 penerimaan negara dari cukai naik Rp.1,4 triliun m(2,4%) dari Rp.59,3 triliun (2010) menjadi Rp.60,7 triliun pada 2011, maka anggaran menanggulangi kesehatan bagi korban rokok mencapai 3 x dari jumlah itu atau Rp.182,1 triliun! Sungguh luar biasa bukan?
Pemeran ayah dari sinetron Jin dan Jun, Fuad Baradja yang menjadi Ketua Bidang Penyuluhan dan Pendidikan Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3) pernah memberikan pendapatnya, seandainya umat Islam tidak merokok dalam 1 hari maka mereka mampu membangun mesjid sebanyak 250 buah dengan dana Rp.1 miliar per mesjid. Ini asumsinya, jumlah perokok minimal 77 juta orang dikalikan 80%nya adalah umat Islam, atau 50 juta. Bila per orang menghabiskan dana Rp.5.000 per hari, maka ada Rp.250 miliar uang yang dibakar demi membuat mulut melepuh, bukan? Padahal dengan uang sebanyak Rp.250 miliar per hari dapat membangun mesjid 250 unit atau 250 madrasah unggulan, atau memberangkatkan 10.000 jamaha ke Tanah Suci. Belum lagi bila dibelikan susu terbaik demi optimalisai otak balita. Ini jelas proses pembodohan dan pemiskinan dengan membiarkan umat terus merokok.
Menurut Ahli Perencanaan Keuangan, Ahmad Gozali, orangtua yang merokok dalam sebuah keluarga tentunya akan sangat merugikan, bukan hanya bagi dirinya sendiri melainkan juga bagi seluruh anggota keluarganya.
”Dari sisi ekonomi, porsi pengeluaran akan dikurangi dengan jatah rokok untuk perokok. Dari sisi kesehatan, perokok dan anggota keluarganya yang menjadi perokok pasif karena kebiasaan merokok di dalam rumah, menjadi lebih mahal karena rentan terhadap penyakit,” paparnya. Selain itu, angka harapan hidup perokok akan lebih pendek daripada yang tidak merokok. Jika meninggal dunia dalam usia produktif tentu saja hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan nafkah keluarga yang ditinggalkan. Menurut Gozali (http://rojinulis.blogspot.com/2008_12_01_archive.html), perokok aktif kebanyakan dari kalangan masyarakat golongan menengah ke bawah. Golongan menengah ke bawah justru lebih banyak merokok dari pada golongan menengah ke atas. Namun belum jelas korelasinya bagaimana, apakah karena ia miskin maka hiburan paling mudah baginya adalah merokok. Atau sebaliknya, karena suka merokok, maka ia menjadi atau tetap miskin. Perokok akan memiliki tingkat ekonomi yang lebih berat dari pada yang tidak merokok. Karena untuk merokok sendiri diperlukan biaya yang tidak sedikit. Biaya langsung yang timbul adalah pembelian rokok dan pelengkapnya, misalnya korek api, kopi, dan lain sebagainya. Sedangkan biaya yang tidak langsung adalah biaya kesehatan yang tentunya akan lebih rentan bagi perokok. Jika dilihat dari harga rokok yang dari tahun ke tahun mengalami kenaikan karena biaya cukai dan pajak naik akan berimplikasi pada gangguan perekonomian keluarga miskin, dan ini lebih jelas terlihat dan mudah dibuktikan. Karena semakin miskin seseorang, maka semakin besar prosentase konsumsi rokok dibandingkan dengan penghasilannya. Artinya seorang perokok miskin akan lebih banyak menanggung beban untuk membeli rokok daripada perokok kaya. Menurut Gozali, rokok adalah masalah selera, kaya atau miskin, kalau sudah kecanduan merokok akan tetap mengonsumsi rokok berapa pun harganya. Dan rokok yang paling murah sampai yang paling mahal perbedaannya tidak terlalu jauh.
Rokok bisa menjadikan perokok miskin semakin miskin. Misalnya, Si A penghasilan Rp 2 juta dan si B penghasilan Rp 10 juta. Keduanya mungkin memiliki kebiasaan berbeda dalam selera makan. Si A mungkin akan memilih makan di Warteg, sedangkan si B bisa jadi makan di rumah makan atau restoran. Begitu juga dengan transportasi, si A mungkin menggunakan angkutan umum atau sepeda motor, sedangkan si B menggunakan mobil pribadi. Ini juga wajar karena pengeluarannya akan diseimbangkan dari seberapa besar penghasilannya.
Tapi kalau soal rokok, mereka bisa jadi memiliki konsumsi rokok yang sama, menggunakan merk rokok yang sama dengan harga yang sama pula. Anggap saja sebungkus rokok per hari dengan harga Rp 7 ribu, maka per bulannya adalah Rp 210 ribu. Bagi si A, pengeluaran rokok adalah sekitar 10% dari total penghasilan. Sedangkan si B adalah sekitar 2% dari penghasilannya. Perokok miskin akan semakin sulit keluar dari kemiskinannya karena harus menanggung beban konsumsi rokok yang sangat besar dilihat dari penghasilannya. Selain itu orang miskin akan lebih sulit berhenti dari kebiasaan merokok daripada orang kaya. Karena orang miskin sulit untuk mendapatkan hiburan lain, sehingga cenderung menganggap rokok adalah hiburan yang paling mudah. Berbeda dengan orang kaya yang bisa mendapatkan jenis hiburan lain yang lebih beragam. Selain itu lingkungan kerja orang miskin di sektor non-formal cenderung kondusif baginya untuk tetap merokok. Sedangkan orang kaya yang berkerja di perkantoran terpaksa mengurangi konsumsi rokoknya karena bekerja di ruangan ber-AC. Bagaimana sisi ekonomis dari berhenti merokok? Gozali mengasumsikan, konsumsi rokok per hari adalah sebungkus dengan harga Rp 7 ribu – 10 ribu per bungkus. Artinya, konsumsi rata-rata untuk rokok adalah sebesar Rp 210 ribu – 300 ribu per bulan. Mestinya jumlah sebesar ini sudah bisa untuk setoran tabungan pendidikan atau asuransi pendidikan bagi anak kita. Kalau uang sebesar Rp 210 ribu diinvestasikan setiap bulan, kedalam tabungan berjangka seperti tabungan pendidikan yang memberikan hasil 7% per tahun, maka dalam waktu 5 tahun, bisa terkumpul Rp 15 juta. Sudah cukup untuk biaya masuk SD favorit. Dengan Rp 300 ribu dibelikan emas setiap bulannya (sekitar 1 gram), maka dalam waktu 150 bulan alias 12,5 tahun sudah cukup untuk biaya naik haji. Uang sebesar Rp 300 ribu yang bisa dihasilkan per bulan dari berhenti merokok masuk investasi dengan hasil 20% per tahun seperti pada reksadana atau saham, maka dalam 10 tahun, hasilnya sudah lebih dari Rp 100 juta: cukup untuk beli sebuah mobil! Kesimpulannya: Berhenti merokok selain bisa memperbaiki kondisi keuangan keluarga, juga bisa terhindar dari penyakit mematikan seperti jantung, kanker paru serta gangguan kehamilan dan janin. Bayangkan, kalau sekali berobat saja ke dokter (misalnya) sudah Rp 200 ribu dikali jumlah anggota keluarga yang ikut juga menjadi perokok pasif. Bisa jadi pengeluaran dana yang disiapkan mencapai puluhan sampai ratusan juta untuk biaya pengobatannya saja. Tips memulai berhenti merokok, sangat sederhana saja: Tidak usah mencoba merokok. Dan tidak perlu mulai merokok.
NAH, APAKAH KOMPASIANA.COM MAU MEMBANTU PROGRAM INDONESIA SEHAT TANPA ASAP TEMBAKAU?
Ayo, TOLAK IKLAN ROKOK dari kompasiana.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H