Lihat ke Halaman Asli

Sutan Malin Sati

tukang saluang hobi barandai

Influencer "Dibayar" Dukung Omnibus Law, Aksi Penolakan Minim Pemberitaan

Diperbarui: 16 Agustus 2020   12:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aksi penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Sumber: Liputan6

Dua hari lalu, di saat Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraannya, di waktu bersamaan terjadi aksi penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja oleh berbagai elemen. Tak hanya di depan gedung MPR/DPR, aksi massa juga berlangsung dibeberapa daerah. Namun sayangnya, aksi-aksi yang sebagian diwarnai tindakan represif aparat justru tak tersorot media.

Pemberitaan justru mengarah pada hal-hal yang sebenarnya tidak substansial. Mulai dari membahas baju adat yang dikenakan oleh sang presiden, sampai dengan kontroversi diksi "bajak' yang digunakan Jokowi. Apa yang terjadi dengan media?

Di sisi lain, kabar tak sedap justru muncul dari beberapa pengakuan para influencer. Mereka mengaku dibayar untuk mendukung Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Bayarannya pun tak tanggung-tanggung. Mulai dari 5 juta hingga 10 juta per unggahan. Fantastis.

Pengakuan para influencer ini ditanggapi beragam. Pihak pemerintah sendiri menyangkal adanya bayaran bagi para influencer untuk meng-eo-kan Omnibus Law. Namun, dari pihak yang menolak Omnibus Law ini sebuah tindakan yang mubazir. Mereka berpandangan, daripada membayar para influencer/buzzer, ada baiknya pemerintah fokus mendistribusikan anggaran kepada masyarakat yang terdampak Covid-19.

Melihat fenomena influencer bayaran ini, seolah menggenapi asumsi rakyat apabila media luput memberitakan aksi penolakan rakyat terhadap Omnibus Law. Jika para influencer saja bisa dibayar, artinya kekuasaan mempunyai sumber daya yang melimpah untuk membayar yang lainnya untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Jika asumsi rakyat ini benar, artinya demokrasi kita telah berada diambang krisis da sangat membahayakan.

Seniman yang akrab dipanggil Presiden Jancukers, Sudjiwo Tedjo, dalam unggahan Twitternya mengatakan, "Jadi buzzer itu sah-sah aja. Setiap orang pasti pernah/sedang jadi buzzer termasuk diriku. Baru jadi masalah moral, jika kita mem-buzz sesuatu hanya demi uang/dll, bukan demi keyakinan pada kebenaran yang kita buzzing itu sedangkan uang/dll cuma sebagai konsekuensi kerja sama aja."

Ya, media mempunyai fungsi sebagai sarana informasi kepada masyarakat, sebagai sarana untuk mengepresikan pendapat, ide, dan gagasan kepada khalayak, dan sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat secara umum.

Sementara itu, dalam konteks demokrasi, setidaknya ada 13 peran sentral media dalam kehidupan masyarakat, yaitu sebagai ruang publik, menghadirkan informasi, memberikan perkembangan dalam berbagai sektor, memberikan gambaran dan lukisan kondisi sosial politik, menyorot masalah yang berkaitan erat dengan ranah publik, dan mempengaruhi pemikiran khalayak ramai.

Selanjutnya, menjamin adanya kebebasan berpendapat, sebagai bentuk kontrol dan kritik, munculnya pembaharuan, perubahan budaya, propaganda pesan penuh harapan, perubahan gaya hidup, dan pendidikan bagi masyarakat.

Memang, dalam menjalankan sebuah usaha media pemberiataan membutuhkan anggaran biaya tak sedikit. Banyak pos anggaran yang perlu ditutupi demi keberlangsungan. Akan tetapi menggadaikan prinsip kejujuran dalam menyampaikan informasi demi keuntungan materi adalah sebuah pengkhianatan pada nilai-nilai demokrasi.

Mengutip pesan dari Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), peran media tak hanya sebatas melindungi masyarakat dari berita-berita hoax atau palsu. Namun yang lebih penting adalah bagaimana media berperan melindungi masyarakat dari penyesatan informasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline