Sebelumnya, saya hendak mengucapkan selamat kepada Bapak Andre Rosiade yang terpilih menjadi anggota DPR RI melalui Partai Gerindra dengan cara menjadi 'pansos' (panjat sosial) yang membandingkan pencapaian Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menjadi Presiden RI keenam dengan pencapaian Presiden Joko Widodo. Selain menjadi pansos SBY, Pak Andre juga sukses meraih simpati 'amai-amai' (ibu-ibu) dengan menunjukkan simpati kepada Ibu Ani Yudhoyono yang tengah menjalankan pengobatan dan perawatan di Singapura. Terlepas dari strategi pansos atau apalah namanya, salut buat Pak Andre yang bisa mengalihkan tingkat kesukaan orang Minang kepada SBY menjadi dukungan suara kepadanya.
Saya ingin sedikit berkisah kepada Pak Andre sebagai bekal untuk nantinya menjadi anggota dewan mewakili kami orang Minang. Kisah ini saya sampaikan karena saya maklum pengalaman Pak Andre dibidang pemerintahan dan pengabdian masyarakat belumlah cukup mumpuni dibandingkan mewah dan mahalnya baliho besar Pak Andre yang 'terserak' dimana-mana. Kali ini saya ingin berkisah tentang orang Minang yang pandai bersilat.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa silat itu berasal dari kata silek. Kata silek pun ada yang beranggapan berasal siliek, atau si liat, karena demikian hebatnya pendekar silat dalam berkelit dan licin seperti belut. Konon, dengan kegemaran orang Minang merantau silat berkembang luas di nusantara, baik itu dengan mempertahankan format aslinya ataupun menyatu dengan aliran silat di kawasan nusantara.
Akan tetapi, yang membuat silat di ranah Minang menjadi berbeda dengan silat yang ada di daerah lain di nusantara adalah silat yang mengilhami atau menjadi gerakan dasar seni randai. Randai merupakan penggabungan seni lagu, musik, tari, drama dan silat menjadi satu. Perpaduan seni ini tidak hanya membuat anak-anak Minang kuat secara fisik, tapi juga luwes dalam pergaulan dan komunikasi (interaksi sosial). Kalau istilah Minang, "tagang bajelo-jelo, kandua badantiang-dantiang".
Dalam frasa Minang tersebut, kondisi tegang tidak serta merta menyiratkan bentuk yang keras, namun di posisi yang tegang di dalamnya terpaut paham kelembutan. Sementara itu, frasa kandua badantiang-dantiang, dipahami dalam makna yang sangat dalam. Seorang pesilat dalam setiap gerakannya tidak akan pernah melakukannya dengan bentuk langkah dan gerak yang kaku dan kasar. Gerak silat, ditampilkan dalam bentuk gerak yang gemulai dan menampilkan kelembutan serta keindahan. Namun akan menjadi salah jika lawan menilai si pesilat tengah menari tanpa kekuatan. Dengan tampilan gerakan gemulai dan terayun lembut, di dalamnya mengandung kekuatan yang makin lama makin besar dan siap digunakan untuk melumpuhkan lawan.
Silat sebagai bagian dari interaksi sosial tidak dapat dipisahkan dari falsafah orang Minangkabau. Inilah beberapa bekal yang saya titipkan kepada Pak Andre sebagai bekal menjadi anggota dewan.
- Nana kuriak iyolah kundi, Nan merah iyolah sago, Nan baiak iyolah budi, Nan indah iyolah baso, (Yang burik ialah kundi, Yang merah ialah sega, Yang baik ialah budi, Yang indah ialah basa-basi). Artinya, menjaga lidah dan bahasa (perkataan) sangat penting. Banyak perselisihan terjadi hanya karena lidah tidak bisa menjaga perkataan dengan baik.
- Ingek di rantiang ka mancucuak, Tahu di dahan ka maimpok, (Ingat ranting yang akan menusuk, Tahu ranting yang akan mehimpit). Artinya, sikap arif dan bijaksana. Orang yang arif pandai mengukur kapasitas dirinya sehingga ia tidak sembarangan dalam mengeluarkan pendapat atau pernyataan.
Dari dua falsafah ini, semoga dapat menjadi bekal Pak Andre yang notabene dididik dari sekolah non muslim di Kota Padang, dimana mungkin minim pengajaran nilai budaya lokal yang kuat dengan nilai-nilai keislaman dan besar di rantau dalam pergaulan anak gedongan. Sekali lagi saya berpesan untuk Pak Andre, orang Minang itu pandai BERSILAT, bukan MENJILAT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H