Lihat ke Halaman Asli

Hari Kartini Hari Kemerdekaan Perempuan

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari Kartini Hari Kemerdekaan Perempuan

Apa yang terlintas di pikiranmu ketika mendengar nama Kartini? Pertanyaan ini saya ajukan kepada beberapa teman saya laki-laki dan perempuan. Saya menerima beragam jawaban dari mereka. Ada yang mengatakan Kartini adalah pejuang perempuan pertama, teman lain mengatakan yang terlintas dipikirannya adalah perayaan yang identik dengan perempuan, memasak, mengenakan kebaya, sanggul, dan serangkain lomba seperti lomba memasak, sebagian teman mengatakan Kartini pejuang kesetaraan gender, dan beberapa lainnya sambil tersenyum menjawab hari Kartini berarti hari libur. Ketika pertanyaan ini diajukan pada kita apa yang akan menjadi jawaban kita?

Kartini (1879 – 1904)

Sedikit tentang Kartini untuk menyegarkan ingatan kita kembali. Raden Ajeng Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Kartini adalah anak perempuan dari Raden Mas Adhipati Arya Sosrodiningrat yang menjabat sebagai Bupati Jepara pada waktu itu. Sebagai keturunan ningrat, tradisi kuat membelenggu kebebasan Kartini. Baik kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan untuk bertingkah laku, untuk mengambil keputusan, maupun kebebasan untuk mengecap pendidikan. Adat telah mengatur setiap aspek kehidupan Kartini. Pada usia 12 tahun Kartini harus berhenti dari sekolah karena menurut adat Jawa sudah saatnya Kartini memasuki masa pingitan. Kartini yang pada saat itu ingin melanjut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi harus tunduk pada tradisi, Kartini yang ingin dididik sebagai guru dipaksa mundur oleh adat istiadat. Tetapi rasa haus Kartini akan ilmu pengetahuan tidak dapat dibendung oleh tembok-tembok kabupaten dimana dia tinggal, Kartini menghabiskan waktu dengan membaca apa saja yang didapat dari ayah dan kakaknya.

Pada tanggal 12 November 1903 dinikahkan dengan Bupati Rembang Adipati Djojodiningrat yang sudah beristri. Kartini mengajukan syarat kepada calon suaminya agar diperbolehkan mendirikan sekolah untuk remaja putri. Dari sini dapat kita lihat bahwa pernikahan bagi Kartini adalah sebuah kesepakatan agar dia dapat mencapai impiannya. Pada tanggal 17 September 1904, beberapa hari setelah melahirkan anaknya yang pertama, Kartini menutup mata pada usia 25 tahun untuk selama-lamanya.

Pada kumpulan surat Kartini dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang dapat dilihat buah pikiran dan keinginan Kartini. Bahwa Kartini menolak etiket keningratan Jawa, Kartini menolak pembagian manusia menurut klas/posisinya, dalam buku ini juga dapat kita lihat keinginan Kartini akan kebebasan, berdiri sendiri, serta harapan Kartini agar perempuan mendapat pendidikan.

21 April 2012

Seratus tahun lebih telah berlalu semenjak perjuangan Kartini. Sudah bagaimanakah kondisi perempuan yang hak dan kesejahteraannya disuarakan oleh Kartini sepanjang hidupnya itu? Contohnya saja dalam bidang pendidikan, posisi perempuan saat ini dapat dilihat dari data perakhir tahun 2010 dari Kemendiknas yang menunjukkan bahwa sekitar 8,3 juta penduduk Indonesia (usia 15 tahun ke atas) mengalami buta huruf dan 64% atau sebanyak 5,3 juta diantaranya adalah perempuan dewasa. Padahal dari pangkuan perempuanlah pendidikan pertama diberikan pada generasi berikutnya. Bagaimana jika perempuan ini memiliki anak, pendidikan apa yang akan diberikan pada anaknya jika ternyata perempuan itu sendiri pun tidak berpendidikan.

Tidak hanya dari segi pendidikan perempuan saja yang tidak terjamin tetapi juga kesejahteraannya. Data Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan) menunjukkan bahwa pada tahun 2011 terdapat 119.107 kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dan 95,61% dari jumlah itu adalah kekerasan yang dialami perempuan dalam lingkup rumah tangga. Ironis sekali, pernikahan yang katanya lembaga sakral, rumah yang harusnya menjadi tempat perlindungan bagi perempuan malah menjadi tempat pelegalan kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, fakta menunjukkan bahwa 6 juta lebih rakyat Indonesia menjadi buruh migran di luar negeri dan mayoritasnya adalah perempuan yang sebagian besar menjadi pekerja rumah tangga. Jumlah ini meningkat 1 – 2 juta setiap tahunnya. Coba bayangkan, perempuan-perempuan diekspor oleh negara ini untuk menjadi pembantu rumah tangga, dipukuli, diludahi, untuk diperkosa oleh majikannya sendiri di luar negeri.

Seperti inilah kondisi perempuan seratus tahun setelah masa Kartini, menyedihkan sekali karena perempuan masih tetap dijajah meskipun dalam bentuk penjajahan yang berbeda. Perempuan saat ini memang tidak dipingit seperti yang dialami Kartini, perempuan memang diperbolehkan untuk sekolah, perempuan memang berhak menolak poligami, tetapi “pembolehan” ini tidak dijamin oleh negara. Bagaimana bersekolah kalau kemiskinan masih menjerat tangan dan kaki perempuan, bagaimana hendak bersekolah kalau tenyata anak laki-laki masih diprioritaskan untuk memperoleh pendidikan, bagaimana perempuan tidak memiliki keahlian dalam bidang tertentu jika laki-laki masih mendominasi dalam pekerjaan atau fakultas tertentu, bagaimana menolak poligami jika itu bagi sebagian perempuan merupakan satu-satunya cara untuk lepas dari kemiskinan, bagaimana perempuan tidak dipoligami jika UU Perkawinan pun mengijinkan poligami tersebut. Negara ini beserta sebagian warga laki-lakinya seolah-olah bekerjasama untuk memperbudak perempuan, membuat perempuan bodoh, dan bergantung pada laki-laki. Percayalah, hanya 2 jalan tersedia bagi kita perempuan, melawan atau menyerah. Jalan yang mana yang akan kita pilih, menyerah dan diperbudak atau bangkit melawan? Itu semua terserah pada kita, perempuan.

Apa yang terlintas di pikiran anda ketika mendengar nama Kartini? Biarlah ketika pertanyaan ini saya ajukan kepada kita, kita boleh sama-sama menjawab bahwa perjuangan perempuan belum selesai. Biarlah setiap tanggal 21 April kita mengingat bahwa hari itu adalah hari kemerdekaan perempuan. Bahwa kemerdekaan yang kita, perempuan terima masih harus terus diperjuangkan. Selamat Hari Kartini! Selamat berjuang! (ss/berbagai sumber).

Dia tidak mengenal aku dan engkau

Dia bahkan tidak mengenal generasi yang akan datang

Tetapi dia tetap berjuang untuk kita

Dia bersuara, dia berteriak,...

Agar 1000 generasi di depannya bisa mendengar suaranya

Dia melawan, agar kita bisa melihat perjuangannya

Dia meletakkan dasar bagi kita agar kita bisa melanjutkannya

Siapapun kamu, apapun pekerjaanmu, dimanapun kamu saat ini

Perempuan... Mari angkat suara dan katakan:

“Lanjutkan perjuangan kita!!!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline