Lihat ke Halaman Asli

Susniati Sus

Pelajar, mahasiswa

Jejak Tani

Diperbarui: 28 Juni 2021   09:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tak ada yang mulia semulia profesi petani. Kegigihan, ketangguhan, dan ketulusan seolah bertempat dalam rumah jiwanya. Mengamati jejak para tani akan membawamu pada kedamaian representasi kemuliaan tuhan dalam dirinya, hingga patutlah dikatakan bahwa petani adalah 'penyangga'. 

Cobalah cek kembali sejarah indonesia sebagai negara agraris paling tersohor di dunia, hingga membuat iri negara eropa untuk mengeruknya. Mari lihat lagi 'nusantara' dengan kekayaan pangannya, beragam rempah-rempahnya berhasil menaikkan syahwat negara lain untuk menguasainya. Maka patut diri berbangga hidup di negeri seribu tani. Semesta memuji, tuhanpun memberkati, di negeri tani hati berdecak, jiwa berdamai.

Syair pujianpun belum lagi hilang. Petani punya nama panjang, ia bukan sekedar singkatan, karena terdapat simbol keagungan di dalamnya. Tahukah anda, saya dan kita semua? Siapa sangka Petani memiliki kepanjangan. Petani merupakan landasan pemikiran marhaenisme soekarno yang ia nyatakan ketika tahun 1952, bahwa petani adalah 'penjaga tatanan nasional indonesia'. Tak pelak lagi, bahwa kita sebenarnya benar dijaga oleh para tani, dihidupi oleh benih kemuliaan jiwa tani, diberi makan oleh tumbuhan yang tumbuh dari tangan-tangan suci para petani.

Aku masih lagi menulusuri jejaknya, para tani agung yang bolak-balik di sawah dan kebunnya. Mereka terbangun di awal hari, mempersiapkan bajak dan cangkulnya, nampan dan bibitnya, air dan bekalnya 'tuk' tunaikan tugas mulianya. Mereka akan bekerja tanpa aba-aba, tanpa jadwal, bahkan tanpa upah dari para penguasa. Namun apakah mereka menuntut?  Tidak.  Ketulusan tak bisa dibayar oleh kertas berangka. Juta, miliar, triliun sekalipun tak bernilai dibanding keagungan jiwa para petani.

Pagi itu, ku saksikan semangat membara dari jiwa petani, matanya sudah melek, kopi dan teh sudah pun diseduh, karena hendak kembali ke lahan hijau yang dirinduinya, menengkok biji yang ditanan kemarin. Langkah nya mulai berderap, 'bak' tentara yang keluar dari sarang militernya, pemandangan yang tampak eksotis 'sesiapa' mata memandang. 

Coba kita perhatikan' langkah kebisuannya' ,bisu dari caci-maki, diwarnai canda renyah kenikmatan obrolan bersama kawan sesamanya, yang takkan kau temukan dalam diri koruptor berdasi itu. Ia, petani yang tanpa pamrih, tak seperti hewan rakus yang cerdas itu, yang melahap habis segudang dollar dan rupiah di gedung itu. Petani 'pekerja' ikhlas yang mampu hidup dengan sesuap nasi, tak pula ngemis menu lengkap di meja makan berhias emas. Cukuplah bersahaja menjadikannya bahagia. Ia pun tak butuh 'tenar' di tengah maraknya popularity contest di zaman ini. Toh, ia juga bisa go international, membawa hasil taninya ke kancah dunia,di ekspor bebas keluar negeri sebagai bukti keunggulannya, tanpa perlu saing-menyaingi maupun jatuh- menjatuhkan.

Petani sebagai masyarakat agraris merupakan entitas yang independen, mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, baik pangan, papan maupun sandang. Tak sedikitpun ia mesti mengemis, merengek meminta penghidupan. Justru kitalah yang mengemis pada petani, menawarkan secarik kertas demi sebatang bayam dan sebiji nasi demi penghidupan.

Petani adalah manusia yang ditakdirkan kaya oleh sang maha kaya. Ia tidak kaya akan materi tapi pada nurani sucinya. Terkesan hati ini untuk menguntai lagi makna dalam penulusuran jejak tani. Pantaslah bila profesi nya terpuji di langit dan bumi. Ia mengurus tanah surga di bumi dan mempersembahkan dedikasi terbaiknya. Sosok ulama terkemuka bernama al-mawardi yang hidup pada abad ke-10 pun sangat memujinya. Ia menyatakan 'bercocok tanam/bertani adalah profesi paling terhormat' karena menuntut dedikasi yang tinggi dan tawakkal kepada allah swt.

Petani itu hero. Petani melahirkan manusia pembentuk peradaban ,ibarat orang hebat melahirkan orang hebat, karena petani memberi nasi bukan janji. Petani menebar benih di sawah bukan sumpah serapah para koruptor yang tertangkap basah. Petani memberi makan bukan sogokan. Suatu bangsa hidup berkat kemuliaan jasa para petani hebat, kecuali jika memang mereka sudah tak butuh makan nasi.

Ada satu ungkapan yang hendak ku bagikan bagi puan dan tuan, berikut:

"Without farmers, we would have no food." --- Lailah Gifty Akita

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline