Perkembangan internet yang sangat pesat membuat industri telekomunikasi di Indonesia tumbuh subur. Hal ini terbukti dari semakin menjamurnya para pedagang HP dan pulsa dipusat perbelanjaan hingga pinggir jalan. Tidak heran, sebab kini hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia memiliki handphone, bukan hanya masyarakat di perkotaan bahkan masyarakat di pedesaan memiliki handphone.
Dalam suatu keluarga terkadang jumlah handphone sesuai dengan jumlah anggota keluarga, bahkan anak yang masih duduk di sekolah taman kanak-kanak (TK) sudah diberi handphone oleh orang tuanya. Tak jarang kita temui satu orang bisa memiliki handphone lebih dari satu buah. Bisa kita bayangkan berapa kebutuhan mereka untuk membiayai satu handphone, mulai dari pulsa, paket internet, asesoris HP, dan sebagainya. Sehingga terlontar celoteh "lebih rela menahan lapar (tidak jajan) daripada kehabisan pulsa atau paket internet".
Melihat fenomena tersebut membuat semakin banyak orang yang melirik dan membuka usaha konter handphone. Begitu juga di Pontianak, hampir setiap 100 meter bisa kita temui konter handphone. Baik konter-konter kecil maupun konter-konter besar. Dengan semakin menjamurnya konter-konter handphone di Pontianak, membuat persaingan usaha ini begitu ketat. Perang harga mulai dilakukan oleh para pengusaha konter untuk menarik pelanggan.
Ada beberapa konter besar, yang memiliki modal besar, mereka membeli persediaan atau stok pulsa, kartu internet dan asesoris dalam partai besar. Pembelian dalam partai besar tentunya lebih murah daripada pembelian partai kecil. Konter-konter besar tersebut menjual harga dibawah harga pasar. Dengan demikian otomatis para konsumen lebih memilih membeli pulsa atau paket internet di tempat mereka. Hal ini mengakibatkan konter-konter kecil ditinggalkan pembeli. Konter-konter kecil tidak bisa menjual dibawah harga standar karena konter-konter kecil membeli dari distributor/vendor seharga harga jualnya konter besar.
Hal ini yang mengusik perhatian saya, mengapa tidak diberlakukan penentuan harga atau kesepakatan harga. Sebaiknya konter-konter besar boleh menjual dibawah harga standar dengan ketentuan banyaknya (quantity) pembelian atau pembelian oleh konsumen untuk dijual kembali. Tetapi apabila penjualan untuk perorangan sebaiknya sesuai harga standar atau harga pasar, sehingga konsumen tidak mengejar atau menumpuk dikonter tersebut. Bahkan ada konsumen yang tempat tinggalnya agak jauh rela datang ke konter tersebut untuk membeli pulsa atau paket internet karena harganya lebih murah seribu rupiah. Begitu kuat daya tarik "harga" yang ditetapkan oleh konter tersebut, sehingga konsumen lupa untuk sampai ke konter yang dituju berapa waktu dan BBM yang terbuang hanya mendapatkan selisih harga seribu rupiah.
Inilah fenomena pedagang besar dan pedagang kecil. Pedagang besar dengan jumlah modal yang besar, yang mampu membeli persediaan dalam jumlah yang banyak tentunya akan mendapatkan harga modal atau harga beli yang lebih murah, apalagi terkadang mereka membeli dari luar Pontianak, misalnya di Jakarta atau di Jawa. Dengan harga beli yang lebih murah tentu saja mereka bisa menjual dengan harga yang lebih murah juga. Mereka tidak memikirkan nasib pedagang kecil dengan jumlah modal yang kecil, yang tidak mampu membeli persediaan dalam jumlah yang banyak, sehinggga mereka membeli dengan harga yang lebih tinggi. Karena semakin banyak barang atau persediaan yang dibeli, maka semakin murah harga belinya atau semakin besar discount yang diberikan distributor/vendor. Sepertinya disini terjadi hukum rimba, "siapa yang kuat dia yang menang".
Etika bisnis dalam penetapan harga merupakan isu penting yang sering dibahas pada skala usaha besar maupun kecil. Banyak sekali kasus yang terjadi mengenai penetapan harga pada perusahaan baik kecil maupun besar. Dari banyaknya kasus yang telah tejadi maka perlu adanya etika dalam sebuah bisnis. Prinsip etika secara umum menurut (Joshepson, 1994) antara lain : (1) Honesty. Berkata sebenarnya, tulus berterus terang, tidak curang, tidak mencuri, dan lain-lain. (2) Integrity. Berprinsip, menghormati, teguh hati, berani, dan berpendirian kuat, tidak bermuka dua.(3) Promise-Keeping. Dapat dipercaya, menepati komitmen. (4) Fidelity. Loyal pada keluarga, teman, pekerja, dan Negara dalam konteks professional menjaga kemampuan untuk tetap independen dalam memutuskan sesuatu dan dengan teliti serta menghindari pengaruh buruk mupun konflik kepentingan. (5) Fairness. Adil dan pikiran terbuka, berani mengakui kesalahan, toleransi pada perbedaan. (6) Caring for others. Ramah dan berempati, berbagi, member pada lainnya, mencegah bahaya bagi lainnya. (7) Respect for others. Menghormati martabat, urusan pribadi, sopan, tidak merendahkan diri dan mempersulit. (8) Responsible Citizen. Menaati hukum, menggunakan hak demokratis dan berkesadaran sosial. (9) Pursuit of excellence. Mengejar kesempurnaan di semua hal, rajin, tekun, berkomitmen, memaksimalkan kemampuan, memelihara tingkat kompetensi. (10) Accountability. Tanggung jawab terhadap hasil keputusan dan konsekuensi dari perbuatan.
Berdasarkan prinsip-prinsip etika di atas "perang harga" yang terjadi antar konter handphone di Pontianak bertentangan dengan prinsip Responsible Citizen, dimana prinsip ini mengharuskan untuk menaati hukum, menggunakan hak demokratis dan berkesadaran sosial.
Etika penentuan harga sekarang ini lebih cenderung harus sesuai dengan harga pasar untuk mengurangi persaingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H